Jakarta, Februari 2007.
Perasaan ketika diabaikan adalah ambiguitas yang mampu menimbulkan rasa sakit dan tak nyaman dalam diri. Akan ada banyak pertanyaan yang ditangguhkan dan selalu menggantung di dalam pikiran. Beberapa memilih untuk lebih terbuka terhadap apa—atau mungkin siapa—yang menimbulkan efek tersebut. Namun, untuk kasusku, aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.
Seminggu. Untuk waktu-waktu yang berjalan itu terasa sangat lamban dan menguliti pikiranku dengan banyak spekulasi mengenai sikap Ara yang berubah. Dia akan memberiku tatapan asing yang mampu membuat tubuhku menggigil dengan rasa tak nyaman, seolah sedang memberitahuku agar tidak mendekatinya dengan jarak kurang dari lima kaki.
Punggungnya dipenuhi aura kesuraman yang nyata ketika dia akan mengantar atau menjemputku di sekolah. Bagaimanapun, meskipun dia benar-benar mengabaikan keberadaanku, dia tidak pernah lupa dengan kesepakatan yang tak tertulis di antara kami.
Seharusnya aku cukup tahu diri dengan memberinya waktu, atau tidak menerima kebaikannya, kalau memang dia sedang tak ingin berurusan denganku, tetapi dia tidak membiarkan aku untuk menjauh. Meskipun kenyataannya dialah yang menjauh. Hari-hari kemarin, walaupun kami jadi asing, Ara masih selalu menjemputku di depan rumah atau di pintu kelas. Di saat aku harus pulang sore, dia dengan setia akan menunggu. Lalu aku pun berada dalam posisi canggung antara menolak atau menerima ajakannya. Tentu saja, aku selalu tidak dapat menolak karena aura suramnya jauh lebih menakutkan.
Perubahannya dimulai sejak malam itu. Ketika Ara mengungkapkan apa yang terjadi di dalam keluarganya. Namun, yang tidak aku mengerti, kenapa dia menatapku seperti aku telah membocorkan rahasianya? Aku berani sumpah, tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang apa yang dia katakan malam itu, bahkan mengenai tangisannya yang samar-samar terdengar. Aku juga tidak pernah membuka suaraku untuk bertanya kelanjutan kasusnya, karena aku menghargainya. Aku tahu tidak mudah membuka luka dan rasa sakit kepada orang lain.
Hanya saja, sekali lagi, itu tidak seharusnya menjadi alasannya untuk mengabaikanku.
Aku telah mencoba mencari alasan agar dapat bersikap normal dengannya. Namun, saat akan memulai percakapan, dia malah menatapku dengan alis tebalnya yang mengernyit. Matanya yang tajam terpaku dalam tatapanku, tetapi itu terlihat kosong. Bibir tipisnya pun hanya akan tertarik dalam satu garis lurus dan dia tidak akan membuka suara apa pun untuk merespon ucapanku. Dia lebih banyak mengangguk atau menggeleng ketika aku bertanya.
Pagi ini akhirnya aku menyiapkan diri untuk mengajaknya mengobrol. Aku tidak mungkin membiarkan Ara menyimpan rasa tak nyaman jika benar aku telah menyinggung perasaannya. Setelah memakan sarapan nasi goreng buatan mama, aku mematut diriku di depan cermin besar yang terletak di ruang tengah. Hari ini rambut yang biasa kukuncir, sengaja diurai. Aku menyisir rambut dengan jari tangan dan dalam hati memikirkan apakah Ara akan menyadari sedikit perubahan dalam penampilanku. Astaga, kenapa aku punya pikiran mengerikan semacam itu?
Begitu akan mengambil ransel di atas sofa, ponselku berdering. Aku terburu-buru membuka ransel dan merogoh ponsel di dalamnya. Nama Ara terpampang di layar. Rasa gugup tiba-tiba melandaku. Aku pun menekan tombol hijau dan menyelipkan rambutku di belakang telinga sebelum menempelkan ponsel.
"H-halo?" sapaku ragu-ragu. Biasanya jika Ara ada di depan rumah, dia akan langsung membunyikan klakson motornya, tetapi aku tidak mendengar bunyi itu sampai sekarang. "Kamu udah di depan? Tunggu se—"
"Maaf, saya gak bisa jemput kamu hari ini."
Oh. Jadi sekarang kamu benar-benar marah sama aku? Kalimat itu sudah tersusun rapi dalam otakku, tetapi tersangkut di ujung lidah. Alih-alih mengatakannya, aku malah berdeham dan mengangguk. "Kenapa harus minta maaf? Kayak mau lebaran aja." Aku mencoba tertawa, tetapi suaraku justru terdengar seperti batuk yang dipaksakan. Berdeham sekali lagi, aku pun berkata, "Gak apa-apa. Santai aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
DETAK [Space of Heart]
RomanceKau tahu, kita selalu berputar-putar pada poros yang meniadakan asa dan rasa. Kau tahu, sesuatu telah berubah sejak kau mengabaikan eksistensiku. Kau tahu, ada yang tidak kau ketahui tentangku setelah pergimu yang tanpa pamit. Namun, Aku tahu, rasam...