Kesempatan Kedua

212 27 14
                                    

Aku berjalan dengan wajah lusuh, tersirat bimbang menyapa kerut di dahi. Langkah tak menentu, tanpa tahu tujuan ke mana harus pulang. Telah lama tersesat dan masih berdiri di persimpangan. Wajah sendu penuh ragu, tercurah di sorot mata. Apa yang kutunggu? Sebuah kepastian menentukan pilihan, sulit menemukan jati diri.

"Ma, kenapa kita berbeda?"

Pertanyaan yang cukup dijawab dengan helaan napas panjang. Ia pun terdiam. Begitu sulit menjalani hidup, berada di antara hitam dan putih. Bahkan keduanya pun sulit dikenali, entah mana hitam, entah mana putih, yang pasti aku berdiri di garis abu-abu. Karena kedua orang tuaku berbeda, perbedaan itu adalah hal paling mendasar dalam hidup.

Keyakinan. Ya, itu yang membuat kami berbeda. Papa keturunan China, menganut agama Budha. Mama seorang muslim, tak sedikit pun ingin berpaling dari keimanannya. Entah hukum mana yang mengesahkan pernikahan mereka. Keluarga dari mama, tidak merestui hubungan ini, artinya kelahiranku pun mungkin tak diharapkan oleh kedua keluarga besar.

"Kakek tinggal di mana, Ma?" Lagi-lagi otakku dijejali pertanyaan yang tak pernah mereka jawab.

Hidup tanpa teman dan keluarga rasanya seperti dikucilkan, aku hampir terisolasi dari dunia luar. Hanya saja, cukup beruntung berada di lingkungan yang demokrat, lebih tepatnya lingkungan tanpa sosialisasi. Meski selentingan itu, tetap terdengar sayup di telinga. Pernikahan haram!

Dulu saat papa masih ada, hampir seminggu sekali mengajak ke Wihara. Atau jika papa sibuk, bisa satu bulan sekali kami ke sana. Membakar dupa dan menyembah para dewa. Saat berdoa sering kupandangi patung dewa diam-diam, bentuknya lucu. Tapi, aku tidak pernah berani tertawa. Sebagai anak hanya mengikuti tanpa tahu apa artinya agama dan keyakinan.

Di sisi lain mama pun tidak mau kalah, ia mengajari salat, mengaji, dan puasa. Sejujurnya saat masih kanak-kanak, tidak menyukai ritual yang membosankan seperti ini. Harus berdoa lima kali lebih banyak dari biasanya. Tapi, aku menyukai gerakan salat itu indah. Meski belum hafal doanya kadang biar terlihat keren, aku menirukan bunyi 'was wes wos' seolah-olah memang benar doanya seperti itu.

"Kenapa doa yang diajarin Mama beda sama Papa, sih? Wisnu kan jadi bingung." Pertanyaan masa kecil yang tak pernah habis dalam benakku.

Setiap kali salat Jumat, aku merasa iri dengan teman-temanku. Papa tidak seperti yang lain, mengajak anaknya ke masjid. Atau saat salat Idul fitri, hanya mama yang menuntun, dan aku terpaksa berada di jajaran ibu-ibu karena tidak berani terlalu jauh dari mama.

Ritual dua agama itu telah cukup dikenyam, tanpa rasa bersalah. Lalu di mana aku berada? Pertanyaan sama dan berulang-ulang yang sering dilontarkan teman-teman SD sampai SMA. Keyakinan yang ambigu, aku sendiri masih gamang. Dibesarkan dengan dua adat, dua keyakinan, dan dua perbedaan, rasanya tidak adil bagiku.

"Wisnu, agama kamu sebenarnya apa sih?"

"Kalau Islam harusnya kamu salat ke masjid, jangan-jangan kamu belum disunat ya?!" ucap salah satu temanku dengan nada meledek.

"Aku udah disunat kok waktu kecil. Kata dokter itu buat kesehatan," jawabku.

"Tapi, kok kamu sering datang ke kuil itu sih?"

"Ingat, kata Pak Wildan seseorang yang menyembah selain Allah itu musrik, dan tidak ada ampunan yang lebih pedih dari siksa neraka."

Mereka terus bicara, melontarkan pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab. Mama belum pernah bilang apa itu musrik. Meski begitu mendengar kata neraka, membuatku bergidik ngeri. Papa pun sering berbicara tentang surga dan neraka dalam versinya. Entah mana yang benar.

Sampai suatu hari papa meninggal karena sakit. Aku sendiri bingung, entah tuhan mana yang memanggil papa. Papa disemayamkan dengan caranya sesuai amanat, dan mama mengadakan tahlilan selama tujuh hari. Terdengar bisik-bisik yang cukup menyayat hatiku, mereka yang tahlilan di rumah ternyata di belakang membicarakan kami.

Antologi Cerpen Nanae ZhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang