Ia tidak seperti gadis kebanyakan, memakai make-up yang tebal di wajah, rambut yang dimodel sesuai tren bulanan, seragam yang sering dipadupadankan dengan sweater atau tas sekolah yang sering diberi pernak-pernik yang berlebihan. Ia jauh berbeda dari para gadis di sekolahku. Ia lebih dari sekedar itu.
Aku selalu menatapnya dari balik lipatan syal yang setiap hari kupakai. Sering sekali ia duduk di sudut kelas bersama buku-buku yang selalu bertumpuk dipangkuannya, lalu membuka sepatunya, membiarkan jemari-jemari kakinya menyentuh lantai yang dingin. Aku selalu takjub dengan caranya itu. Membiarkan dirinya masuk ke dalam dunia fantasi, merasakan desakan-desakan alur cerita yang menakjubkan, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang dibuatnya. Merasakan kerikil tanah yang kasar dan menusuk, merasakan angin yang menyapu lembut wajahnya, dan merasakan betapa jiwanya kini merasakan bau kesenangan di dunia fantasi yang ia buat sendiri. Aku melihat itu semua dari bola matanya yang bulat itu. Seakan mengajakku untuk mengekor dibelakangnya. Namun, aku tidak bisa melihatnya begitu lama karena waktu nyata itu begitu sempit, jauh berbeda dengan dunia fantasi yang tidak pernah musnah termakan waktu.
"Kau sedang melihat Nakao-san, ya?" Mataku membulat, segera membalikkan kepala ke arah belakang punggung. "Iya, kan?" Satoshi berdiri tepat di belakangku sambil mengunyah roti kismis kesukaannya.
"Apa?! Tentu saja tidak, aku hanya sedang melamun saja," belaku pada diri sendiri. Aku menyambar roti kismisku yang ia makan setengahnya, lalu menghabiskannya.
Ia tertawa pelan, "Kau melihat kakinya yang bagus itu, kan? Ternyata kau ini juga pria mesum," ia menggeleng-geleng kepala, sok menasehatiku. "Baiklah, biar kuberitahu cara mendekati perem...."
"Aku tidak butuh."
"Baiklah, akan kuberikan kau buku panduan menembak perempuan yang kau...."
"Sudah kubilang aku tidak butuh!" Aku mengerut dahi, lalu membenamkan wajah kedalam syal.
Biar kuberitahu, Satoshi adalah sahabatku yang paling tertarik pada perempuan cantik di sekolahku. Ketika ada sekolompok gadis cantik yang biasanya tidak sengaja melangkah di depannya, dengan segera Satoshi akan langsung menghampirinya dengan langkah yang enteng dan memperkenalkan dirinya. Ia seperti pria yang tidak tahu malu dan tidak tahu tata krama, seperti binatang yang berliur yang sering kujumpai di halaman rumah tetanggaku. Hebatnya wanita-wanita itu akan langsung tertarik padanya atau mungkin menghadiahkannya sebuah tamparan dahsyat. Ia juga seorang playboy kelas kakap berbintang tiga, pernah mendapat predikat "peraih wanita terbaik" dikalangan para pria di sekolah, walaupun itu sangat ilegal.
Ia pernah mengencani seorang mahasiswi dari salah satu universitas, sekaligus mengencani anak dari seorang guru killer di sekolahku. Namun, amat disayangkan, kencan itu berakhir dengan sebuah gamparan hebat dari kedua mantan kekasihnya. Oleh sebab itulah, aku tidak pernah menanggapinya dalam soal percintaan yang ia buat sendiri seakan semua itu harus sesuai dengan dramanya─ terlihat seperti mempermainkan wanita.
"Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku tadi," ujarnya sedikit kesal, aku semakin merapatkan wajahku pada syal. Satoshi menarik kursi yang berada di sampingku, lalu duduk dengan kedua kaki yang diangkat di atas meja. "Kau tahu, rasanya aku mulai merasakan kesepian. Sudah lama sekali aku hidup sendiri tanpa ada seorang malaikat di sampingku."
"Mungkin kau butuh malaikat maut yang siap mencabut jiwamu," ucapku samar-samar.
Satoshi tertawa pelan, "Seorang malaikat maut, ya? Malaikat maut... si malaikat maut... Kuriyama Atsuko si malaikat maut. Hm..." Ia mengerutkan dahi, lalu memandang langit-langit kelas. "Boleh juga. Bagaimana menurutmu jika aku menembak Atsuko minggu depan," ia merubah posenya seperti ingin menge-shoot musuhnya. "Dan mengajaknya berkencan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You
Teen FictionKetika aku melihat gadis itu pertama kali di perpustakaan aku langsung jatuh hati, meskipun ia sering digosipkan sering membaca komik fujoshi. Namun, hal itu bukanlah suatu masalah untukku. Andaikata kukatakan perasaanku ini, aku tidak menjamin apak...