Part 3

51 5 0
                                    

   Hari ini pelajaran sejarah yang disampaikan Yamato Sensei benar-benar membuat beberapa murid tertidur seperti dongeng yang sering diceritakan para ibu. Atau mungkin sejarah membuat mereka ingin menelan setiap lembar buku tebal itu. Malangnya mereka bukanlah rayap di musim panas. Namun, kali ini aku tidak seperti mereka. Mendengarkan pelajaran Yamato Sensei sekarang menjadi rutinitasku yang terbaru. Baru saja di-update beberapa bulan yang lalu. Aku tidak akan bosan memandang Nakao-san di depanku. Rambutnya terurai lurus di punggungnya. Aroma harum parfumnya benar-benar manis.

   Aku mengambil pulpenku dan menuliskan beberapa kalimat di bagian bawah halaman buku tulis sejarah, "Hari ini Nakao-san benar-benar manis. Aku harap aku bisa melihatnya dan berbicara dengannya setiap hari."

   Kupandang lagi tulisan itu, senyumku mengembang membayangkan jika kami benar-benar menjadi sepasang kekasih sebenarnya. KYAAA!!! Itu pasti menyenangkan. Wajahku memerah seketika dan keringat mulai bercucuran di pelipis, refleks aku melepaskan lilitan syal dan memendam wajahku dalam balutan syal.

   "Daisuki."

Jam Istirahat.

   "OI, Kenta-kun tersayang!" Satoshi berseru dari arah seberang pintu. Seisi kelas langsung mengalihkan pandangan mereka kepadaku. Tatapan mereka melambangkan keanehan ketika Satoshi berlari dengan gaya yang tidak wajar. Kau tahu, semacam tarian waria di pinggir jalan.

   "Kenta-kun, aku merindukanmu sejak tadi. Ayo, kita makan bersama di kantin sekolah," ujarnya sambil menarik-narik tanganku. Satu kata untuknya. Menjijikkan.

   "Eh, eh," aku benar-benar ditarik paksa, seakan-akan tarikan tangannya mengatakan, Ikut-aku-atau-tidak-kau-akan-mati, seperti itulah. Aku bisa melihat kalau semua orang sedang berbisik macam-macam, berpikiran kalau aku dan Satoshi adalah homo sesungguhnya. Yaoi! Yang benar saja! Menjijikkan!

   Namun, ada yang mengganjal. Di seberang sana, seorang gadis sedang tersenyum melihatku.

   Kami berhenti di depan pintu kantin. "Baka, kau memanggilku dengan kata-kata seperti itu. Kau membuat satu aib lagi untukku," ucapku sambil memukul kepala Satoshi dengan keras. Yang dipukul hanya nyengir.

   "Gomen, aku terlalu senang tadi." Aku tersenyum masam. "Ayo, akan kuperkenalkan kau dengan gadis yang baru kukenal tadi," Satoshi berseru riang sambil mendorong bahuku. Aku hanya menghela nafas dan mengekor di belakangnya. Kami berjalan menuju tempat yang Satoshi tunjukkan. Di sana sudah ada seorang gadis yang sedang menyuapkan secuil roti kepada seorang lelaki. Tunggu, apa?!

   "Nah, gadis ini yang...." Satoshi memandang tidak percaya pada gadis yang baru ia kenal. Aku pun juga sama. Ia menyuapkan secuil roti kepada seorang senior kami, Yoshida-senpai. Gadis itu menyadari kedatangan kami dan menghentikan suapannya.

   Ia tersenyum, "Selamat siang, Hantaro-san dan selamat siang juga Yamada-san." Gadis itu membungkukkan badan, kemudian menegakkan punggungnya kembali. Yoshida-senpai bangkit dari bangku dan memegang pundak Kuriyama-san. Aku yakin Satoshi terpukul hebat.

   "Siapa mereka?" Matanya tak henti memandang kami dari ujung sepatu sampai ujung rambut, memandang kami rendah.

   "Perkenalkan, ini Hantaro Satoshi. Ini pria baik yang kubicarakan tadi, Yoshida-kun," ujarnya sambil memperkenalkan Yoshida-senpai pada Satoshi. Yang diperkenalkan hanya diam, terbang entah kemana pikirannya. Aku juga diam, tetapi pandanganku tidak lepas dari pasangan ini. Aku tidak percaya bahwa gadis yang ingin diperkenalkan Satoshi kepadaku adalah kekasih Yoshida-senpai yang baru saja digosipkan ikut dunia permodelan untuk fashion remaja di suatu majalah terkenal.

   Aku menepuk pundak Satoshi dengan ragu, "H-o-i, Satoshi, kau ditanya oleh Kuriyama-san, tuh."

   "Ah, eh, sungguh? Oh, ya, maaf aku ada urusan penting sekarang. Sampai jumpa!" Satoshi berjalan cepat meninggalkan aku dan pasangan baru ini di kantin. Dengan segera aku berlari mengejar Satoshi yang benar-benar tak terlihat punggungnya di ujung koridor. Tampaknya, hatinya terpukul.

   "Hoi, Satoshi!"

   Satoshi menoleh sedikit, lalu kembali membalikkan punggungnya ke arah yang berlawanan. Aku menghela nafas, kemudian menyusulnya.

   Satoshi sedari tadi menendang kaleng yang menghalangi jalannya, "Menyebalkan! Padahal aku sudah lama mengincar Kuriyama-san, ternyata ia lebih dulu diambil oleh Yoshida-senpai yang bodoh itu! Dasar sialan!" Aku hanya tersenyum simpul. Kasihan juga Satoshi, tetapi mengingat ia sudah sering ditolak oleh banyak gadis di sekolah, rasanya ini wajar-wajar saja.

   "Bukankah kau sering ditolak?" ejekku. Aku berusaha menahan tawa sebisa mungkin. Wajah Satoshi yang sedang sedih membuatku ingin tertawa terbahak-bahak di depannya.

   Satoshi mengerutkan dahinya, "Sialan kau! Tapi ini, kan, berbeda. Ia itu jauuuh lebih manis daripada gadis-gadis yang aku temui sebelumnya." Aku hanya meng-iya-kan. Kami terus berjalan mengelilingi lapangan sekolah yang ramai di penuhi oleh siswa-siswi yang sedang berolahraga atau sekedar mencari angin.

   "Kenapa sedikit sekali gadis manis di sekolah ini. lama-lama sekolah ini membuatku bosan," ucap Satoshi sambil mengarahkan pandangannya ke segerombolan para senior di sisi lapangan basket. "Kenapa para gadis itu tertarik pada sesuatu yang membosankan seperti itu. Menyebalkan! Kenapa mereka tidak memandangku, sih. Cih!"

   Aku tetap diam, mataku menangkap suatu bayangan dari lantai atas, tepatnya di bangunan lama sekolah yang jarang dimasuki. Mata gadis itu hanya terarah pada kami. Tapi, kurasa bukan pada kami, titik fokus matanya seperti mengarah pada Satoshi!

   "H-o-i, Satoshi, sepertinya ada yang sedang memerhatikanmu dari lantai atas," ucapku sambil menari-narik ujung baju lengannya. Mataku masih tertuju padanya, namun sepertinya orang itu menyadari aku akan memberitahu Satoshi. Dengan cepat ia membalikkan badan dan menghilangkan batang hidungnya di tengah gelapnya lorong.

   "Eh?" Satosih mendongakkan kepalanya. "Mana? Tidak ada yang memandangiku. Mungkin matamu salah lihat." Satoshi membalikkan tubuhnya, berniat kembali ke kelas. Aku segera menyusulnya karena bulu kudukku tiba-tiba saja bergidik ngeri.

   "Oi, Kenta, mau tidak kau menemaniku ke mini market di dekat stasiun? Ada sesuatu yang ingin aku beli." Aku mengangguk.

   "Selama kau mau mentraktirku lima mie ramen instan dan dua pack onigiri ekstra pedas, aku akan selalu menemanimu ke mini market. O.K?" Aku mengacungkan jempol, Satoshi hanya menyeringai.

   "Ya, tapi dengan satu syarat. Kau harus mencuci boxerku selama satu minggu ini. O.K?" Kali ini Satoshi mengacungkan jempol. Aku mengerutkan kening, sampai-sampai alisku saling terhubung. Dapat kau bayangkan bagaimana bau busuk yang timbul dari boxer milik Satoshi. Iiiih....

   "Hahaha, hanya bercanda."

   "Dasar!"

   Aku membuka pintu mini market dan segera mencari mie ramen di ujung toko. Sedangkan Satoshi pergi entah kemana, mungkin ia melihat sesuatu yang bisa disebut 'pencuci mata'.

   "Hei, Kenta menurutmu bagus yang mana? Yang ini," Satoshi menunjukkan sebuah boxer berwarna pink soft di tangan kanannya, "Atau yang satu ini?" Ia menunjukkan boxer dengan warna yang sama, namun kali ini benar-benar menjijikkan. Di bagian bokong terdapat motif hati raksasa berwarna merah. Maksudnya apa itu?!

   Aku meringis jijik, "Cih, seharusnya kau tidak menunjukkan itu padaku." Aku tidak mengacuhkannya, mataku kembali memandang dua rasa ramen terbaru tahun ini. Rasanya air liurku ingin keluar. "Pilih yang mana, ya? Yang ini? Tapi, yang satu ini terlihat lebih sedap. Em, apa, ya?" Aku memandang Satoshi, mungkin ia bisa membantuku. Lagipula ini, kan, gratis.

   "Hei, Satoshi, menurutmu aku harus memilih yang mana? Yang ini," aku menunjukkan sebuah kemasan mie ramen instan di tangan kananku, "Atau yang ini?" aku menunjukkan satu lagi kemasan mie ramen.

    Satoshi memandang sekilas, lalu berkata, "Aku sudah muak melihat mie ramen itu." Ia berjalan menjauh dari rak surgaku. Aku menghela nafas dan mengikutinya dari belakang. Dan, tidak lupa membawa membawa empat buah mie ramen instan berbagai rasa di keranjang.

   Aku dan Satoshi menaruh keranjang di atas meja kasir. "Ingat, kau harus mentraktirku." Aku mengingatkan. Satoshi hanya tertawa pelan sambil menepuk punggungku.

   "Tentu saja. Aku selalu menepati janjiku." Aku ikut tertawa, kemudian kembali menatap penjaga kasir yang tengah sibuk memeriksa label harga celana boxer baru Satoshi. Anehnya, aku seperti mengenali wajahnya.

   "Kau... Atsuko!"

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang