"Onii-chan, kau tidak apa-apa?" Ayako memberiku segelas air hangat, lalu duduk di sisi ranjangku. "Onii-chan terlalu banyak mengeluarkan darah. Untungnya Satoshi-kun langsung membawamu kemari."
Aku mengangguk, kemudian menyeruput setengah air dan menaruhnya kembali di atas meja. "Ia sudah pulang?" Ayako mengangguk pelan.
"Kupikir penyakitmu kambuh lagi, ternyata Onii-chan hanya kelelahan saja. Kalau penyakit Onii-chan kambuh lagi, kan, bisa repot." Aku hanya bisa ber-hm saja, kepalaku masih sedikit pusing dan tubuhku terasa lemas. "Baiklah, Onii-chan berisitirahatlah yang banyak. Selamat malam," Ayako berjalan meninggalkan kamarku dan menutup pintu kamarku dengan rapat.
Aku menutup rapat mataku.
Gelap, semuanya hitam. Di mana lampu-lampu festival itu? Kata Ibu sebentar lagi kami akan sampai di Festival musim panas, namun kenapa semuanya terlihat hitam. Apakah ini termasuk bagian dari acara festival musim panas ini?
"Kenta...."
Suara apa itu tadi? Dari mana asalnya? Kalian semua jangan berisik, kepalaku semakin pusing. Kumohon, jangan terlalu berisik, kalian mengganggu tidurku.
"Kenta!"
Bau obat itu semakin lama semakin pekat, membuatku semakin yakin aku sekarang berada di mana. Ruangan putih, juga infus yang melekat di punggung tanganku itu terlihat semakin jelas, samar-samar tadi telah menghilang. Benar, ini rumah sakit.
"Onii-chan!" Ayako berlari dengan wajah amat khawatir. "Kau sudah siuman. Apa Onii-chan masih merasa pusing?" tanyanya dengan nada suara yang direndahkan. Aku hanya bisa terdiam, mulutku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, kaku sekali.
Ibu datang sambil menarik mundur Ayako, menjauh dari ranjangku. "Ayako, jangan terlalu berisik. Ini rumah sakit dan Onii-chan-mu masih kurang enak badan. Biarkan ia beristirahat sebentar." Ayako hanya bisa menurut, kemudian ia membalikkan punggungnya menuju sofa. Ibu mengalihkan matanya ke arahku, membelai lembut rambutku dan menarik kursi yang berdekatan dengan ranjangku.
"I...ibu, kenapa a...aku di rumah sakit?" Aku berusaha berbicara walaupun mulut dan lidahku masih terasa kaku. Ibu tersenyum simpul dan mengelap keringat dingin yang mengalir di pelipisku.
Beliau menghela nafas panjang, "Kau tidak apa-apa, Sayang. Kau hanya kelelahan, itu saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Sekali lagi, aku mengangguk pelan.
Setelah beberapa minggu aku di rawat di rumah sakit dan terbebas dari makanan yang membuatku selalu didatangi rasa mual, aku diperbolehkan pulang, namun Ibu harus selalu memberi data perkembanganku yang terbaru setiap minggunya pada dokter.
"Kenta, tunggulah di sini. Jangan ke mana-mana, ya," ujar Ibu sambil mendorong kursi roda yang aku duduki ke samping tempat duduk para pasien. Ibu segera masuk ke dalam ruangan yang tidak kuketahui apa nama ruangan tersebut. Aku masih penasaran dengan penyakitku yang sebenarnya, dengan diam-diam aku membuka pintu sedikit demi sedikit dan membiarkan mataku melihat langsung percakapan diantara mereka. Tidak terlalu jelas memang, tapi ini sudah lebih dari cukup daripada aku ketahuan dan didamprat oleh Ibu.
Samar.
"Benarkah, Dok? Seserius itukah penyakit anak saya?"
Dokter itu mengangguk. Ia membuka laci mejanya dan memebrikan selembar kertas, "Ini hasil yang kami terima dari pemeriksaan di laboratorium beberapa minggu yang lalu. Biasanya pasien yang menderita penyakit ini akan hidup dalam jangka waktu yang pendek. Dengan perkembangan yang lambat, tidak mungkin pasien itu akan sembuh dengan sepenuhnya. Namun, anak Anda memiliki perkembangan yang sangat cepat, tapi kami harus tetap memastikan metabolisme dalam tubuh anak Anda tidak menurun." Dokter itu menghentikan kalimatnya karena Ibu sudah terisak-isak di seberang mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You
Teen FictionKetika aku melihat gadis itu pertama kali di perpustakaan aku langsung jatuh hati, meskipun ia sering digosipkan sering membaca komik fujoshi. Namun, hal itu bukanlah suatu masalah untukku. Andaikata kukatakan perasaanku ini, aku tidak menjamin apak...