Judul : Ayah
Author : Andrea Hirata
ISBN : 978-602-291-102-9
Cetakan ketiga, 2015
Hanya ada tiga kategori bacaan versi saya. Pertama, novel yang tak bisa digeletakkan begitu memulainya, harus sampai selesai, terpotong oleh kegiatan wajib yaitu sholat dan tidur. Bahkan makan pun saya masih membacanya. Kedua, novel yang bisa saja di geletakkan, tapi kemudian tetap saya cari untuk dituntaskan. Ketiga, novel yang hanya buka sampul dan kemudian saya tahu bahwa saya tak ingin menyelesaikannya. Bukan karena jelek, tapi lagi-lagi soal selerea. Setiap orang tentu saja berbeda.
Ayah. Novel terbaru Andrea Hirata yang bagi saya termasuk dalam jajaran novel yang tak bisa digeletakkan begitu memulainya.
Novel cerdas ini memang menuntut kita untuk berkonsentrasi terhadap isinya. Setting waktu, tokoh-tokoh bersliweran yang kadang kita belum tahu siapa hingga kita mencapai akhir cerita.
Kisah si Ayah yang luar biasa, menjadikan anak tirinya sebagai belahan jiwanya. Begitu pula sang anak. Tak ada satu pun yang tak bisa dilakukannya demi Ayahnya. Seperti cerita lainnya, dimana pasangan unik ini dipisahkan oleh keegoisan sang Ibu, namun dalam setiap perpisahan itu menganduk pelajaran yang berharga bagi si Anak walaupun pada sisi sang Ayah adalah kedukaan dan penderitaan tanpa akhir. Mampu mengubah segala hal-hal baik yang sebelumnya ada menjadi hampa.
Dialog-dialog kocak namun sarat pesan berisi khas Andrea Hirata mengisi hampir keseluruhan buku. Interaksi persahabatan yang saling mendebat dan menyindir namun tak ada satu pun yang berniat menjatuhkan kawan apalagi menghina. Bahkan di dalamnya masih terkandung pengorbanan tanpa pamrih yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya agar si Ayah bisa berkumpul lagi dengan si anak
Berbeda dengan suguhan 3D sekarang yang lebih banyak mencela kawan, menghina fisik, membuka aib yang parahnya malah di anggap lelucon berkualitas. Itulah mengapa saya lebih menyukai 2D dibanding 3D #abaikan ini curcol!
Kerja keras tak berkesudahan, tanpa pamrih, polos, selalu menjadi kekuatan Hirata dalam setiap tulisannya. Tidak membuat kita jatuh kasihan, melainkan trenyuh, seakan ikut merasakan beban yang ditanggung, pilihan dalam setiap tindakan dan konsekuensi yang harus diterima.
Tapi jangan membayangkan di dalamnya hanya berisi kisah kumuh perkampungan miskin. Didalamnya kaya raya, dari membahas orkes keliling sampai film terbaik sepanjang zaman. Dari pemusik asli daerah sampai request lagu Truly-Lionel Ritchie yang melegenda. Dari trik-trik politik kotor sampai dengan sepotong keadilan yang mampu membuat kita tersentil begitu dadam. Dari kisah cinta yang kita kutuk awalnya menjadi kisah cinta paling hebat yang pernah saya baca. Untuk Sabari dan Marlena, dan untuk kesempurnaan arti menunggu purnama kedua belas bagi keduanya.
Adegan ini di ambil ketika Sabari selesai menyanyikan sebuah lagu di acara radio sebagai permintaan maaf kepada Marlena dan kekasihnya, Bogel Leboi. Yang mana harus mendapat nilai dua hanya karena Sabari salah 'membetulkan' rumus yang ditulis di meja keduanya sebelum ujian.
"Maaf, Bang, bolehkah aku menyampaikan sedikit ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah berjasa dalam hidupku? Jarang-jarang aku mendapatkan kesempatan ini."
"Oh, sudah barang tentu, Bung, silakan."
"Terima kasih banyak, Bang."
Sabari mendekatkan mulutnya ke mik, dibukanya lipatan kertas tadi lalu diucapkannya ribuan terima kasih kepada pemerintah, pemilik radio, penyiar, operator, dan para pendengar yang budiman di mana pun berada, terutama kepada Lena dan Bogel Leboi serta mereka yang selalu mendukungnya, yaitu ayahnya yang tercinta, ibunya yang penyayang dan sedang sakit--teriring ucapan agar cepat sembuh--saudara-saudara kandung, bibi, paman, ipar, para sepupu, dua pupu, saudara tiri, keponakan, tetangga, dan tentu Ukun, Tamat, Toharun dan Zuraida.
Ribuan terima kasih juga ditujukan kepada wali kelas, Bu Norma, segenap gurunya , mulai dari SD sampai SMA, segenap kawan sekelas, ketua OSIS, orangtua-orangtua murid, penjaga sekolah dan anjingnya, Senyorita (see..nama anjing aja Senyorita), semua pedagang kaki lima, utamanya Bang SYam Robet, seluruh pegawai Dinas Kebersihan, penyuluh keluarga berencana, seluruh PNS dan pegawai honorer di Belitong, para ajuda bupati, pemilik dan pegawai warung kopi Kutunggu Jandamu dan warung kopi Usah Kau Kenang Lagi, seluruh pegawai warung kopi dimanapun anda berada, juga kepada pedagang sayur dan sembako, jaga malam, suster, bidan, mantri, dokter, bapak polisi, banpol, pak pos, mualim, kelasi, nakhoda, markonis, penggali kubur, pandai besi, tukang satai, pendulang timah, pembeli timah, tukang solder, anggota penggemar motor lawa, filatelis, pemimpin redaksi, dan wartawan koran local, para pemangku adat, para dukun dan pawang, dan masih banyak lagi ucapan terima kasih ini. Kira-kira satu setengah halaman banyaknya dan saya gak kuat ngetiknya.
"Terima kasih tak terhingga untuk para pemain organ tunggal dimanapun anda berada, serta para biduan dan biduanitanya, salam Yamaha elektun!"
Grr...
"Tentu terima kasih saya juga untuk penemu organ Yamaha elektun. Tak terkira besar jasa orang itu dalam membuka lapangan kerja. Teriring doa semoga penemu organ Yamaha elektun masuk surga."
Efek tepuk tangan dan suitan membahana.
"Oh, oh, hampir aku lupa, maaf, ada satu lagi, Bang!"
"Silakan, Bung, delapan puluh lima kali lagi juga tak apa-apa."
Grrr....
See...baca, dan anda akan mengalami Badai Katrina perasaaan seperti saya. #smile

KAMU SEDANG MEMBACA
Book!
SonstigesApa yang saya pikirkan tentang buku yang saya baca. Hanya resensi ala saya. Mengingatkan saya bahwa saya pernah membaca dan mengulasnya di sini. Karena saya males bikin blog. :) :)