Judul : Rayya
Author: Malashantii
ISBN: 978-602-73958-0-0
Penerbit : Bisma Optima
Cetakan : I
Jujur, Rayya adalah karya penulis yang pertama saya baca di wattpad. Meski sebelumnya, Mbak Mala ini udah banyak nulis, tapi saya males bacanya. Bukan karena ceritanya nggak bagus, tapi karena EyD-nya terjal abis. Hahaha...Maafkan saya, Mbak Mala. Tapi, di Rayya, meski masih ada beberapa typo dan peletakkan tanda koma (,) yang kurang, kerasa banget peningkatan cara menulis Simbak. Mungkin karena kerja keras Fendi juga (?).
Hal yang pertama kali terlintas di benak saya saat baca Rayya itu adalah ... Wow, ini cerita sederhana!
Sederhana yang saya pikir di sini, bukan karena ceritanya biasa-biasa saja. Tapi, justru karena amat sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Buat saya, ini keren. Lebih terasa realistis dan hidup, tak sekedar menjual mimpi. Tak sekedar CEO-CEO-an. Hahaha....
Chapter demi chapter yang saya baca (versi wattpad dan paperback), membuat saya sering terkesiap. Berasa ditoyor-toyor dengan kelakuan Rayya. Berasa ngaca terus menggumam, 'udah bisa jadi istri 'beneran' belum, nih?' Gitu, yang ada di benak saya. Intinya, cerita ini mampu menyedot perhatian saya yang mudah teralihkan saat membaca, menjadi tenggelam dan bahkan hanyut di dalamnya. Berasa liat tetangga sebelah lagi berantem saking bisanya ngerasain feel-nya.
Profesi Gandhi, tidak seperti cerita kebanyakan, yang selalu mengusung pria tamvan dan mavan (Saking nggak berserinya itu duit, makanya saya tulis pakai 'v'. Hahaha), justru adalah seorang PNS, dengan segala keterbatasannya sebagai abdi negara (taulah ya, mesti hadir tepat waktu, harus ngangguk kalo disuruh atasan, kerjaan setumpuk datang tiap hari silih berganti dan jelas nggak ada episode tamatnya, terus yang jelas banget: kalo punya harta mencolok dikit langsung dicurigai korupsi. T.T), tapi justru tidak menghilangkan pesona seorang Gandhi. Gandhi dengan kemanusiawiannya membuat saya jatuh cinta dengan karakternya.
"Hei, aku masih ngerokok ngapain nyusul ke sini?" (Rayya hal. 161)
Sederhana banget ucapan Gandhi ini mah, tapi entah kenapa saya justru ngerasa romantisnya dia itu ya begini ini. Dan romantis semacam ngasi bunga (selama masih bunga beli di toko, bukan bunga deposito) mah masih kalah jauh romantisnya dibanding ini. Kata saya sih.
Dan terakhir ... ending-nya. Bukan karena saya mengharapkan and they life happily ever after kayak dongeng Princess-Princessan, tapi justru karena ending yang disodorkan begitu realisitis. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi jadikan pelajaran.
Sekali lagi, Rayya bukanlah novel dengan konflik menye-menye dan menggambarkan hidup hedon penuh kemewahan. Tapi, Rayya adalah novel yang menyentuh konflik sehari-hari, kemudian dibalut dengan pesan moral yang menghentak di dalamnya. Menyentil kita dengan lembut, bahwa pasangan yang sempurna itu dibentuk, bukan ditemukan!

KAMU SEDANG MEMBACA
Book!
AcakApa yang saya pikirkan tentang buku yang saya baca. Hanya resensi ala saya. Mengingatkan saya bahwa saya pernah membaca dan mengulasnya di sini. Karena saya males bikin blog. :) :)