Review 3: Critical Eleven

3.6K 148 17
                                    

Judul : Critical Eleven

Author : Ika Natassa

ISBN : 978-602-031-892-9

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2015

Membaca judulnya saja, setiap orang akan teringat pada angka sebelas. Angka yang memiliki arti dalam di dunia penerbangan dan begitu dituangkan dalam bentuk tulisan yang dibalut kecerdasan Ika Natassa seakan menjadi jaminan mutu novel ini. Ditambah lagi dengan angka sebelasnya yang fenomenal. Dimana cetakan terbatas, edisi tanda tangan penulisnya di cetak hanya 1.111 eksemplar dan sold out dalam waktu 11 menit. Fantastis? Jelas.

Di Critical Eleven, novel pertama Ika Natassa yang tidak mengangkat tentang dunia perbankan. Diawaki oleh Aldebaran Risjad dan Tanya Baskoro sebagai dua karakter utama mampu mebuat kita naik ke 38.000 feet dan terjun langsung ke kedalaman lautan.

Mengangkat sisi manusia yang sederhana, dimana ucapan Ale pada Anya saat Anye keguguran menjadi konflik puncak novel ini.

"Coba, kalo kamu gak cape-cape mungkin Aidan masih bersama kita."

Kira-kira seperti itulah kalimatnya.

Simple, sebuah kalimat frustrasi dari calon Ayah yang kehilangan calon buah hatinya ternyata memberi dampak begitu membekas kepada Anya. Anya tak bisa menahan kesedihan akibat disalahkan, sementara Ale bingung harus seperti apa memperbaiki ucapan yang terlontar tidak sengaja tadi.

Konfliknya sederhana, salah ucapan. Berbuntut panjang.

Tidak seperti karya Ika Natassa sebelumnya, di sini Anya dan Ale seperti tidak saling mengenal dengan baik. Ucapan sederhana yang jika kita mau berpikir logis wajar bahwa itu tercetus begitu saja karena kelukaan Ale yang sudah mengharapkan kehadiran Aidan. Anggap saja sisi manusia Ale yang tak sempurna sementara tanggapan Anya? Terlalu berlebihan dan berlarut-larut dalam masalah. Dan ini cukup mengganggu.

Sementara Ale yang juga tak banyak melakukan aksi, gerakan, move on atau pun bahasanya tidak terlalu banyak membantu.

Saya terharu? Iya, tapi C11 tidak senikmat Antologi Rasa dan Trilogi Divortiare saya rasa.

Layaknya karya Ika Natassa yang lain, novel ini masih bertaburan kata-kata yang kalau bisa sih 'distabiloin' di tiap barisnya.

Setiap paragraf hampir mengandung semua kalimat dengan jenis seperti ini.

Terkesan menggurui? Ya dan Tidak. Ada sisi penceritaan dari Ika Natassa yang selalu terkesan 'mengajari' namun tetap saja dapat dinikmati. Banyak informasi baru diberikan namun tidak berpengaruh signifikan terhadap jalan ceritanya sendiri.

Mungkin Ika harus keluar dari pakem tokoh selama ini, lelaki pendiam-romantis-agamis-dengan penghasilan besar dan wanita cantik-berkarir bagus-selera bagus-kalangan jetset-maha sibuk. Sudah saatnya Ika keluar dari tokoh cowok yang bikin delusional. Karena sesungguhnya tokoh yang biasa saja, dengan kelebihan dan kekurangannya justru terasa lebih real dan hidup di benak pembaca.

Terlepas dari itu semua, novel ini tetap termasuk novel yang saya baca dalam satu waktu, hanya berselang makan dan sholat saja. Hehehe...


Book! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang