2. An Idea

6.9K 343 10
                                    

"Perjodohan?" Ibu Rosie bertanya dengan nada tak percaya setelah mendengar penuturan anaknya sore itu. Keningnya tampak berkerut cukup dalam memikirkannya. Karena dari sekian banyak kemungkinan, hal ini tidak pernah terpikir olehnya sebelumnya. Dari mana datangnya ide itu ke dalam kepala mantan suaminya itu?

Rega tampak mengangguk dengan kepalanya masih berada di atas pangkuan mamanya. Hal yang hampir selalu dia lakukan setiap kali dia datang mengunjungi mamanya. Berbaring nyaman di pangkuannya. Mencari kehangatan dan rasa kekeluargaan yang hilang darinya sejak ibunya keluar dari rumah. Hanya saat seperti ini dia bisa membayangkan seolah keluarganya masih lengkap, seperti dulu saat dia masih kecil.

"Kamu serius?" tanya wanita itu lagi, masih tidak bisa menghilangkan rasa tak percayanya.

Rega beranjak duduk dan menatap wajah wanita bule berambut coklat di hadapannya itu dengan lembut. Dihelanya nafasnya sejenak, menahan rasa kesalnya kepada sang ayah.

"Ya... Dan kalau bukan karena pesan mama, aku pasti sudah pergi meninggalkan mereka seketika itu juga. Tapi-"

"Kamu tidak melakukannya, kan?" tanya Ibu Rosie memotong ucapan Rega, dengan wajah tampak khawatir.

Rega menggeleng perlahan. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin melakukannya. Dia menahannya mati-matian, demi sang mama.

"Apa papamu tidak berpikir kalau kamu masih terlalu muda untuk menikah, Ga?" tanyanya. Walaupun dia tak ingin Rega menolak apapun keputusan papanya, namun dia juga masih merasa bahwa mungkin Rega masih terlau muda untuk berumah tangga. Sama seperti dirinya dan mantan suaminya itu dulu. Dan lihatlah bagaimana mereka saat ini. Dia rasa itu bukan sesuatu hal yang perlu ditiru.

Tentu saja dia merasa khawatir mengingat usia putranya yang baru saja menginjak 23 tahun. Dia bahkan baru benar-benar bekerja di perusahaan keluarga sejak setahun yang lalu. Setelah sebelumnya selalu menolak dan memilih hidup berpangku tangan menghabiskan aset yang dikumpulkan ayahnya dan bahkan membuat perusahaan yang belum begitu besar itu kian goyah. Hanya nasihat ibunyalah yang mampu membuatnya berubah walaupun hanya sedikit dan secara perlahan. Walaupun dalam hatinya, ia tetaplah seorang pemberontak. Yang ingin selalu menentang ayahnya sendiri.

"Tanyakan saja pada papa," sahut Rega kesal, namun dia berusaha untuk tidak melampiaskan kekesalannya kepada mamanya yang sama sekali tak bersalah. Yang malah juga telah menjadi korban dari keegoisan papanya.

"Kamu tau sendiri kami tidak membicarakan hal-hal semacam itu," sahut mamanya pelan. Sama sekali tak bisa menutupi raut sedih di wajahnya. Mengingat perpisahan yang sampai saat ini masih meninggalkan luka di hatinya.

"Sekarang bagaimana? Apa aku masih harus mengikuti maunya papa, ma? Apa aku harus mengorbankan masa mudaku, ma?" tanya Rega, meminta pendapat dari mamanya. Sesungguhnya dia lebih mengharapkan sebuah pembelaan. Tapi dia tahu dia tak akan mendapatkannya dari mamanya. Dia tidak tau pasti kenapa. Tapi sepertinya itu berhubungan dengan kebersamaannya dengan sang mama. Dan mamanya tidak mungkin mempertaruhkan itu.

"Seandainya mama bisa menjawab 'tidak', Ga. Tapi hanya itu caranya agar kita bisa tetap seperti ini..." jawab Ibu Rosie

Rega terdiam. Dia hampir bisa menebak maksud mamanya itu.

Wanita keturunan ras Kaukasia itu menghela napas dengan perlahan. Ada beban yang disimpannya selama ini. Yang sebenarnya Rega juga sudah bisa menebaknya.

"Kamu tau seberapa keras papamu, kan?" tanya beliau lembut.

Rega mengangguk dengan kedua alis bertaut.

"Kamu sudah dewasa dan pasti kamu sudah mengerti, perceraian bukan hal yang mudah di antara kami. Dan tentang hak asuh, itu jauh lebih menyulitkan. Terutama bagi mama yang tak punya aset apapun. Papamu menang mudah terhadap kamu," jelasnya.

"Aku tau itu, ma. Itu yang membuatku sekian lama tak bisa bertemu mama, kan?" tebak Rega.

Ibu Rosie mengangguk. "Ya. Lalu kamu tau kenapa akhirnya kita bisa seperti ini lagi? Bisa bertemu sesuka hati?"

Rega hanya diam, menunggu mamanya menjelaskan. Walaupun dia sudah bisa menduganya. Namun mungkin dia ingin mendengarnya langsung dari mulut mamanya.

"Ada perjanjian di antara papa dan mama."

"Apa itu?" tanya Rega. Ingin tau, perjanjian seperti apa yang dimaksud oleh mamanya

"Pemberontak seperti kamu, membutuhkan penenang. Dan entah bagaimana papamu tau kalau yang kamu butukan adalah mama. Mama bebas bertemu dengan kamu asalkan mama bisa mengatur sikapmu."

Rega terdiam. Ada amarah yang menjalari nadinya. Meskipun dia tau pasti ada sesuatu, tapi dia sama sekali tak menduganya. Papanya memanfaatkan mamanya untuk mengontrol dirinya sesuka hatinya.

"Kalau dia tau aku butuh mama, kenapa tidak rujuk saja!?" serunya marah. Pertanyaan yang selalu bermain dalam kepala Rega, yang seringkali Rega tanyakan kepada papanya ketika mereka bertengkar, namun dia tak pernah mendapatkan jawabannya.

Ibu Rosie menggelengkan kepalanya perlahan. Ada ekspresi yang tampak pahit di wajahnya. Yang Rega benci melihatnya.

"Itu tidak akan berhasil. Kamu tidak tau berapa lama kami bertahan sampai akhirnya kami sanggup bercerai. Lagipula mama tidak sendiri lagi sekarang, Ga," jelas mamanya.

Rega menghela napas. Dia masih berharap, andai ayahnya mengalah akan kerasnya hatinya itu dan mengajak mamanya untuk rujuk sebelum mamanya jatuh ke pelukan pria lain. Pria yang dia tau sebenarnya lebih pantas untuk mamanya dibanding papanya. Yang lebih bisa mengukirkan senyum di wajah cantiknya itu. Rega tidak pernah menyalahkan mamanya atas pilihannya. Karena dia tau, mamanya hanya melakukan yang terbaik untuknya. Dan mungkin itulah jalan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dia juga berhak bahagia.

"Lalu apa perjanjian antara mama dan papa masih berlaku? Aku sudah dewasa, dan hak asuh itu sudah tak ada artinya lagi," ujar Rega, menyuarakan pikirannya.

"Mama tau. Tapi, papamu bisa berbuat apa saja. Walaupun keadaan perusahaan sedang tidak baik saat ini, dan baru merintis kembali, tapi papamu masih punya banyak kenalan yang berpengaruh. Pengaruh itu bisa dalam jenis apa saja, Ga. Bisa bagi kamu, bagi mama, atau bahkan bagi Rafit."

Rafit, adalah nama ayah tirinya. Yang tentu saja jauh lebih baik bagi mamanya daripada pria bernama Firman yang telah menyianyiakan wanita sehebat Rosie. Namun Rega tidak bisa menyebut Rafit sebagai ayah. Dia masih enggan menerima kenyataan bahwa keluarganya memang sudah terpecah belah.

Akhirnya Rega mengangguk. Walau dalam hatinya ada kebencian yang kian mendalam. Karena amarah yang sekian lama menguasainya. Ditambah memikirkan dia harus menikah di usia yang masih muda begini. Amarahnya kian meluap. Andai saja dia bisa memperbaiki segalanya. Andai saja gadis muda yang aneh itu menjawab 'tidak' saat papanya mengusulkan tentang pernikahan di antara mereka.

Ah, dia tau. Hanya itu kesempatannya. Kalau dia tak bisa melawan ayahnya secara langsung. Dia harus bisa menggunakan gadis muda yang mungkin akan menjadi calon istrinya itu. Dia harus bisa membujuk gadis muda itu untuk menolak tawaran papanya. Bahkan dia bersedia jika harus membuat kesepakatan lainnya. Asal dia tak harus terjebak dengan gadis yang tak dikenalnya itu selama sisa hidupnya.


*** TBC ***

The Day We Get MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang