Gadis berambut hitam itu tampak lincah ketika harus membereskan piring dan gelas-gelas kotor di atas meja yang ada di cafe itu.
"Ayumi," seorang wanita paruh baya dengan badan gemuk dibalik apron bunga-bunga yang dia kenakan memanggil gadis itu dibalik meja counter.
"Tolong antarkan ini kemeja diluar sana, kau tahu kan ini pesanan salah satu pengemarmu," wanita itu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil, yang ditanggapi Ayumi dengan senyum manisnya.
"Dia bukan penggemarku, Marry."
"Oh, ayolah sayang, kau pikir dia setiap hari rela duduk diluar sana hanya untuk makan wafel buatanku? Wafelku tidak seenak itu, dear," dengan logat Inggrisnya yang kental Marry tersenyum menggoda gadis mungil itu.
"Wafel buatanmu adalah yang terbaik yang ada di Vancouver ini, Marry," Ayumi tersenyum sambil mengambil nampan yang berisi wafel dengan eskrim dan siraman sirup rastbery diatasnya, Marry menghentikan langkah Ayumi dia menggenggam pergelangan gadis itu dan menariknya mendekat, dia memberi isyarat agar Ayumi mendekatkan telinganya supaya dia bisa berbisik.
"Dengar, jangan lupa tanyakan nama dan no teleponenya ok?" Mendengar itu Ayumi hanya bisa memutar bola matanya dan menggeleng sambil melanjutkan kembali langkahnya.
"Ayumi, jangan lupa, sebelum John mengambilnya." Mendengar perkataan itu sukses membuat Ayumi tertawa, John temannya yang ajaib, yah dia yakin kalau pria itu akan menjadi target John.
Ayumi berjalan menuju meja cafe yang ada diluar, meja diluar memang selalu menjadi favorit, mungkin karena suasananya yang santai jadi pengunjung dapat menikmati makanan sambil menikmati alam Vancouver yang asri.
"Sir, ini pesanan anda," Ayumi menaruh piring wafer itu diatas meja bundar yang tertutup taplak meja kotak-kotak merah putih, pria dihadapannya hanya menatap sekilas dan mengangguk sebelum kembali melanjutkan aktifitasnya dengan pensil dan buku sketsa gambar yang ada dipangkuannya.
"Apakah ada pesanan lain, Sir."
"Tidak, terima kasih," pria itu bahkan tanpa repot-repot harus mengangkat kepalanya dari buku gambar miliknya ketika menjawab pertanyaan Ayumi.
Ayumi mengangguk lalu kembali masuk kedalam dimana Marry telah menunggunya.
"Bagaimana, apa kau berhasil?" Marry bertanya dengan antusias.
"Well, Marry, aku rasa tebakanmu kali ini salah," Ayumi mengangguk menatap wanita yang masih menatapnya dengan antusias.
"Tidak, hasil pengamatanku tidak pernah salah, sayang, dia menyukaimu aku tahu dari cara dia menatapmu."
"Marry, dia bahkan tidak menatapku."
"Dia menatapmu."
"Hanya satu detik," Ayumi mengangkat alis matanya sambil tersenyum ketika melihat Marry tidak mempercayinya, dia sangat yakin kalau pria itu menyukai Ayumi.
Pria itu tidak bisa dibilang cukup menarik, tapi sangat menarik bukan type pria Eropa dengan rambut pirang dan mata biru, tapi seperti kebanyakan pria Asia lainnya dengan rambut hitam dan mata sekelam malam, pria itu memiliki tinggi diatas rata-rata pria Asia lainnya tingginya sekitar 185cm, kulitnya yang putih menandakan kalau pria itu bukan dari Asia Tenggara, entahlah Ayumi tidak bisa menebaknya mungkin dari Jepang, Korea atau Cina.
Hari ini pria itu mengenakan jaket tebal warna birunya dipadukan dengan celana jeans biru tua, pria itu tampak serius dengan buku sketsanya. Mahasiswa seni, Ayumi yakin dia adalah mahasiswa seni di Universitas British Colombia, tempat Ayumi menimba ilmu di fakultas kedokteran, Ayumi pernah melihatnya beberapa kali di kampusnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl In The Winter
Romance"Persiapkan hatimu, karena kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan" -Girl In A Winter-