Found

17 4 2
                                    

Devan POV

"Aku benci hidupku" hanya itu kata-kata yang sedari tadi berputar di otakku.

Menurutku hidup adalah kutukan. Kutukan yang entah kapan akan berakhir. Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini indah. Hh mereka sedang bermimpi! Karna kenyataannya hidup ini sangat kejam. Saat kau lengah, mereka akan membantaimu, menghabisimu, bukan hanya secara fisik tapi juga mentalmu.

Brakk

"Devann!! Dimana kau?" suara bariton itu terdengar setelah pintu terbuka.

"Ada apa?" jawabku asal.

"Dasar tidak berguna!! Apa saja yang kau katakan pada para depkolektor itu? Mereka hampir membunuhku!!" bentaknya sambil mengepalkan tangannya ingin memukulku.

"Aku hanya mengatakan kau sedang tidak dirumah." kataku datar.

Ia menurunkan kepalan tangannya perlahan, rahangnya tak sekeras tadi, tetapi emosi masih sangat kentara dalam iris kelamnya. Aku hanya memandangnya datar. Tidak takut ataupun gentar, sudah terlalu terbiasa melihat ayah kandungku ini pulang dengan amarah memuncak, dan tak jarang aku yang dipukul atau dihajarnya sebagai pelampiasan.

"Ayah dari mana? Mabuk lagi eh?" tanyaku sakratis.

"Jangan memulai kalau kau tak mau berakhir di rumah sakit!" katanya penuh emosi.

"Mungkin lebih baik aku keluar sekarang. Aku yakin kau akan lebih senang jika aku tidak ada di rumah saat kau di rumah, iya kan?" sindirku sambil berdiri dan melangkah pergi.

"Kau tidak mengerti Devan! Ayah begini karna kau! Kau selalu membuat ayah naik darah tiap kita bertemu!" katanya saat aku mencapai pintu.

"Dan ayah pun tidak mengerti kan? Bukankah ayah yang selalu pulang dengan keadaan mabuk berat? Bukankah ayah yang selalu memaki dan membentak bahkan menghajarku meski bukan aku penyebab kemarahan ayah?" balasku datar sambil melangkahkan kakiku keluar dari rumah.

Aku tau aku telah salah berkata-kata kasar pada ayah kandungku sendiri, tapi kemarahanku lebih besar ketimbang rasa sayangku padanya. Bukan aku tak pernah merindukannya, sangat sering aku merasa kehilangan sosok ayahku, superhero ku. Semenjak ibuku meninggal ayah hampir selalu pulang dalam keadaan mabuk berat, penuh amarah, dan berakhir dengan menghajarku habis-habisan sebagai pelampiasan. Aku sangat merindukan ayahku, keluargaku, ibuku, kebersamaan kami, aku sangat lelah dengan hidup ini.

Langkah kakiku terus membawaku jauh, dan lebih jauh lagi. Semakin aku putus asa semakin berkabut pula pikiranku. Aku memandang sungai dibawah sana dengan tatapan nanar. Air di sungai itu mungkin sedingin hatiku, segelap hidupku. Kaki ku mulai memanjat pagar pembatas antara jalan raya dengan sungai di bawah sana. Kaki ku telah sampai di ujung pagar, hingga setitik lagi aku dapat mengakhiri seluruh penderitaanku.

"Mengakhiri hidup bukanlah jawaban. Hanya orang-orang bodoh yang nekad melakukan hal itu." seorang gadis menyentakku dari lamunan.

"Menurutmu apa yang akan kau lakukan, jika kau sudah tidak lagi memiliki arah hidup?" tanyaku penuh keputusasaan.

"Tentu akan ku cari arah yang baru, petualangan yang baru, cerita yang baru, bukan mengakhiri hidupku sebagai pecundang." ujarnya sakratis.

Aku tercenung, merasa tersindir dengan semua perkataannya. Perlahan aku mundur, dan menuruni pagar pembatas jembatan itu, lalu luruh ke tanah.

"Aku sudah tak memiliki harapan, semua tampak gelap di mataku." ucapku semakin putus asa.

"Berhentilah mengasihani diri sendiri. Aku Caroline kalau kau mau, aku akan membantumu menemukan arah dan harapan itu." ucapnya seraya mengulurkan tangan kearahku.

Aku menyambut tangannya, dan untuk pertama kalinya merasa ada orang yang sangat peduli padaku.

"Kenapa kau begitu peduli padaku? Padahal kita tidak saling kenal." tanyaku.

"Aku merasa perlu mengingatkanmu, orang yang ingin mengakhiri hidupnya hanya butuh seseorang untuk menyadarkannya, juga seseorang untuk menemaninya." katanya seraya tersenyum.

Aku terdiam sejenak. Entah mengapa senyumnya membuat sebagian ruang hatiku yang beku menghangat. Senyum itu terasa sangat tulus. Senyum yang tak pernah kutemui lagi semenjak ibu tiada.

"Kau tak apa?" tanyanya menyadari kebisuanku.

"Ehh... Ya.. Yaa aku baik-baik saja" ujarku membalas senyumnya.

"Ahh ya siapa namamu?" tanyanya lagi.

"Kau bisa panggil aku Devan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Little Bright StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang