#Part 1

361 5 2
                                    

Enam tahun yang lalu, 27 Maret 2008 –Universitas Indonesia…

“Pa, aku lulus!” jeritku seketika ketika melihat orangtuaku mendekat. Orangtuaku langsung memelukku dan meneteskan airmata bahagianya atas kesuksesaanku menyelesaikan dan menamatkan kuliahku. Akhirnya aku jadi Sarjana juga.

Hari ini adalah hari kelulusanku. Membuat kedua orangtua dan semua keluargaku bahagia dan bangga, termasuk aku. Bagaimana tidak? Dengan IPK 3,9 mendekati sempurna aku akan dengan mudah masuk ke perusahaan atau mungkin kuliah lagi untuk menyempurnakan gelarku. Entahlah namun perasaan lega bercampur sedih nan haru akan hari kelulusanku tetap terasa hingga aku tak kuasa menahan tangis.

Aku memalingkan muka ketika melihat dia. Sang pujaan hatiku. Perasaan hangat tiba-tiba mengaliri hati dan pipiku.

“Selamat ya sayang udah lulus.” Dia mengecup keningku hangat. Oh my! Dia selalu lembut dan kasih. Tapi terkadang…ah lupakan saja!

“Makasih yaa…”

“Aku bangga loh ketika ngeliat kamu maju di atas stage tadi dengan nilai kamu. Walau tidak sempurna, tapi setidaknya itu keren!”

“Iyaa dong. Pacarnya siapa duluu.” Aku mencibir.

“Rendra Wijaya dong. Calon suami kamu.” Tiba-tiba aku tersedak oleh nafasku sendiri. Aku menoleh kaget.

“Hah? Bercanda aja terus.” Aku berusaha menjaga nada bicara ku agar tidak gugup dan bergetar. Setelah sekian lama, baru sekarang dia menyinggung masalah ini. Setelah tiga tahun kita bersama, sekarang lah saatnya.

“Ih siapa yang bercanda. Aku serius kali. Aku…”

“Aku udah lama mikirin ini semua. Kamu mau?” aku terdiam.

“Hmm..mau apa? Aku…” aku sebenernya tau apa yang dia biacarakan namun aku…

“Nindya Putri Kencana. Mau kah kamu dan sudikah kamu menjadi istriku?” tiba-tiba dia berlutut. Ditengah kerumunan orang-orang yang tengah berbahagia setelah kelulusan. Didepan orangtuaku. Didepanku. Aku menarik napas.

“Aku…Rendra, aku..maaf.”

***

“Gimana bisa lo tolak lamaran si Rendra, the most wanted man in this city? Lo tau kan seberapa banyak musuh yang harus lo singkirin supaya lo bisa dapetin dia?” sewot Sandra. Aku hanya bisa menghela napas. Ini sudah dua bulan namun sepertinya semua orang tidak bisa melupakan semua hal ini. Selalu menanyakan hal yang sama berulang-ulang seakan mereka tak pernah lelah menanyakan itu semua. Bahkan terkadang kedua orangtuaku masih sedikit sebal dan yah…kecewa.

“Inget yah! Gue nggak pernah ngejer. Dia yang selalu…”

“Selalu deketin gue, nyogok gue dengan kemewahan yang dia punya dan bla..bla..bla. Sampe hapal gue denger jawaban lo yang itu-itu mulu.”

Aku menahan geram sekaligus kesal terhadap sahabatku yang satu ini. Sahabat sekaligus teman kantorku yang bawel.

“Ini kantor, San. Bukan buat bahas kisah gue. Please deh, it has been for two months since that day and..it’s like no one gonna letting this stupid things go away without asking me for the damn reason why I left him.

It’s because…

I’m so stupid letting him go, I know. Gue juga sampe hapal dengan kalimat lo itu. Intinya gue udah end and there’s no story between me and him an more. Don’t you get it? I’m so tired of this shit question from everyone. Could you just…stop?

I Will BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang