Nia terduduk diam di kursi rodanya, dengan pandangan nanar ke arah kebun melati yang disirami taburan cahaya sore mentari, gamang dielusnya kandungan yang sudah menginjak usia 6 bulan. Tak terasa memang, saat kecelakaan itu terjadi empat bulan silam, tanpa dia sadari ternyata dalam kandungannya telah bersemai seorang bayi mungil.
Tak terasa air mata jatuh perlahan dari pelupuk matanya, masih teringat pertengkaran hebat pada malam itu, suasana yang sangat mencekam dan kalut, ketika sebagian kamar sudah hancur berantakan tatkala Prasetyo ngamuk sambil berteriak sekuat kuatnya, di sudut kamar Nia hanya tertegun. Tanpa sepatah kata, setelah apapun yang ia katakan pada suaminya tak digubris sedikitpun.
"Mas, dengar dulu.. Kamu jangan seenaknya menuduhku seperti itu," sergah Nia, dengan air mata berderai.
"Aku tidak percaya itu, aku sungguh tidak menyangka kamu berani berkhianat padaku," teriak Pras .
Tubuh Nia di tarik dengan kasar, dengan tamparan yang dirasakan Nia mendarat pedih di kedua pipinya, Pras Tanpa perasaan tetap saja menghujani Nia dengan kata kata yang menyakitkan.
"Wanita tidak tahu malu, kamu pikir bisa menutupi kelakuan bejatmu," teriak Pras dengan mata berapi- api.
"Kamu memang tidak pantas untuk dicintai," tukas Pras dengan suara seraknya.
"Tidak, Mas... Kamu telah salah paham, kamu sudah salah bertindak padaku," ujar Nia sambil meraung-raung menangis kesakitan.
Melihat kondisi Nia yang sudah memar, tak mengurungkan Pras untuk tetap menyakitinya.
Sambil berjalan dan menarik tubuh mungil Nia, Pras membentak Nia sekuat tenaga, suara Pras melengking berteriak, "Kamu wanita biadab! Kamu wanita yang tidak pantas saya cintai, Nia."
Nia bertahan sekuat tenaga bertahan di ujung tangga lantai dua kamar mereka, tapi Pras ... dengan kasar tetap menarik tubuh Nia hingga terhempas dan jatuh terguling di anak tangga.
Sejenak Pras tertegun dengan apa yang telah di lakukannya pada Nia, tapi kemarahan dan kecemburuan yang sudah kadung terbakar tak mambuat Pras kasihan pada Nia.
Dikejarnya tubuh Nia yg sudah terkulai lemah, di angkat dengan kasar olehnya, lalu sambil menunjuk kearah muka Nia, Pras berkata, "Mulai hari ini aku sudah tidak sudi memiliki istri yg kotor sepertimu," tukasnya dengan geram, lalu dengan hentakan kuat, dihempaskan kembali tubuh mungil itu seraya berteriak
"Pergi dari hadapanku sekarang juga, dan mulai malam ini, kuceraikan kau," sergap Pras dengan terengah-engah.
Serasa tak puas hanya dengan ucapannya, Pras meraih bingkai foto pengantin mereka di dinding kamar, dan melemparnya sekuat tenaga ke lantai, hingga hancur berkeping keeping, dia pun secepatnya meraih foto itu dan merobek robeknya dengan kemarahan.
Lutut Nia lemas setelah Prasetyo mengucapkan kata cerai. Yah, malam itu adalah malam dimana Nia sudah bukan seorang Nyonya Prasetyo lagi, dan dengan kaki terseok Nia lari menuju mobilnya, dengan kecepatan tinggi dipacunya Honda civic hitam itu ditengah derasnya hujan dan gelapnya malam.
Dengan air mata yang sudah mengering, Nia melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya, waktu baru saja menunjukan pukul 21.15 menit, diarahkannya kendaraan tersebut ke rumah Eyang Sri. Rumah dengan taman asri itu, tampak temaram oleh lampu taman kekuningan.
Eyang Sri adalah Ibu dari mama Nia, sejak usia 3 tahun, Eyanglah yang merawat dan mengasuh Nia sejak mamanya wafat, dan papa menikah lagi dengan tante anne dan mereka tinggal di Malaysia.
Dari luar, samar samar terdengar suara televisi, di dalam ruang keluarga rumah itu, dengan lemas di tekannya bell, dan pintu pun dibuka dengan perlahan, tampak Eyang Sri berdiri di hadapannya dg kacamata baca yang masih dikenakannya, melihat siapa yang datang langsung saja Eyang berkata, "Nduk, ada apa malam malam begini berkunjung ke rumah eyang? Tanpa mengabari dulu. Mana Pras suamimu, Nduk?" kejar Eyang Sri, sambil menatap wajah Nia dengan penuh kecemasan.
Tiba tiba Nia langsung memeluk Eyang Sri sambil menangis sesenggukan. Tanpa sepatah katapun yang mampu ia katakan pada beliau.
Eyang yang sangat paham dengan cucu kesayangannya, hanya memeluk Nia dalam diam. Ia mengerti benar melihat kondisi Nia yang seperti ini, hanya dekapannya yang dibutuhkan Nia untuk menangis dan bersandar mencari kekuatan batinnya.
Perlahan Eyang menggandeng Nia ke arah kamarnya. Perlahan di baringkannya tubuh Nia, sambil perlahan dipeluk erat dalam dekapannya, Eyang membisikan ke telinga Nia, "Sayangku pejamkanlah matamu, lepaskan segala gundahmu malam ini, tidurlah, Nak, dengan tenang."
Sambil membacakan zikir, Eyang mulai memijat lembut kepala Nia. Tanpa terasa, Nia pun mulai terlelap dalam ketenangan yang diberikan Eyang.
Perlahan terdengar hembusan nafas Nia, dalam temaramnya lampu kamar, Eyang Sri mengamati sekujur tubuh dan wajah Nia yang nampak lebam, dengan menahan air mata, Eyang seakan akan menduga apa yang terjadi diantara Nia dan Pras.
Terdengar suara jam di ruang tengah, menunjukan pukul 24.00 malam, Eyang pun beringsut, menarik selimut dan tidur disebelah Nia.
Suara Eyang memanggil Nia kembali ke alam nyata. Dielusnya perut buncitnya. Perlahan Nia bangkit dan berjalan ke arah Eyangnya. Memeluk Eyang Sri adalah kebiasaannya selama masa kehamilannya. Pelukan hangat dan menenangkan yang selama ini dirindukan oleh Nia.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANIA
RomanceKania berjuang menata puing puing biduk rumah tangganya, yang telah hancur berkeping keping akibat seorang gadis masa lalu suaminya Prasetyo. Di atas kursi roda, Nia berusaha tegar, mengingat adanya bayi kecil dalam kandungannya yang ternyata tanpa...