"Nanas atau semangka?"
"Semangka."
"Berapa tinggimu?"
"172,"
dengan satu alis terangkat, aku menatapmu tidak percaya. Kau hanya mengangkat bahu, senyum jahil terbentuk dari bibirmu.
Tidak tahan melihatmu seperti itu, aku pun ikut tersenyum.
"Berapa kali kau makan dalam sehari?"
"Lima."
Aku, sedikit kaget mendengar jawabanmu, mengangkat kepala dari daftar pertanyaan yang kuajukan. Pertanyaan acak yang harus dijawab langsung. Dengan cepat. Tanpa berpikir dua kali.
Wajahmu yang polos seakan menunjukkan jika hal itu, makan lima kali dalam sehari, adalah sesuatu yang wajar.
Puas tertawa, aku lanjut bertanya.
"Umur?"
"He? Enambelas."
"Motto hidup?"
"....."
"Pedas atau asin?"
"....."
"Roti atau nasi?"
"... Roti."
"Genre lagu?"
"Roti."
"Vokalis atau Gitaris?"
"Roti."
"Satu hal yang harus dimiliki calon istri?"
"Rot-"
Ekspresi bingung jelas sekali terpampang di wajahmu.
"Eh, a-apa?"
Butuh waktu sedikit lama bagimu untuk memikirkan pertanyaan itu. Alismu mengkerut. Bibirmu terbuka sedikit untuk menyuarakan jawabanmu.
"Apa?"
Temanmu, yang sedari tadi menyimak permainan kecil kita, sontak berteriak,
"Roti!"
Entah apa maksudnya.
Kau tertawa kecil. Tawa yang membuatku, mau tak mau, ikut tertawa mendengarnya.
"Berapa kali kau minum dalam sehari?"
"Banyak."
"Sisa umur?"
"Sisa umur?!"
Nadamu meninggi sedikit, jelas sekali heran dengan pertanyaan itu.
Ekspresimu aneh, selalu begitu tiap mendengar sesuatu yang belum pernah terlintas oleh otakmu sebelumnya.
Aneh, juga lucu.
Aku tertawa lagi.
"Hitam atau putih?"
Menatapku, kau mengangkat lengan tanganmu. Raut wajahmu menunjukkan bahwa kau sedang berpikir keras. Bertanya-tanya kalau tanganmu termasuk yang hitam, atau yang putih.
Jelas sekali bahwa jawabannya,
hitam.
"Gak boleh rasis,"
katamu, dengan ekspresi sakit hati yang dibuat-buat.
"Aku, maksudku tuh, bukan, gak gitu,"
aku tidak pernah tahu kalau tertawa sambil bicara bisa sesulit itu.
Tapi aku tahu pasti, tiap waktu yang kuhabiskan bersamamu selalu terasa sulit. Hal-hal yang terlihat mudah, berubah menjadi sesuatu yang bahkan aku tidak mampu menguasainya.
Seperti sekarang ini; berada di dekatmu, tepat di sampingmu.
Mungkin kau berpikir kalau itu biasa saja, sesederhana itu.
Tidak.
Kalau benar kau berpikir seperti itu, kau salah. Karena nyatanya,
itu tidak semudah yang kau kira,
tidak sesederhana yang kau pikir.
Tidak sama sekali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 2 / antara Gunung & Laut. "Aku ini egois. Di atas sana aku selalu berharap kalau kau ada di sisiku, menemaniku. Sedangkan kau setia menungguku, di bawah sini, berharap agar aku cepat kembali kepadamu. Padahal aku tahu, gunung dan laut tidak seharu...