iii

346 40 10
                                    

"Bisu atau tuli?"

"Gak dua-duanya,"

"Pilih satu."

"... Bisu."

"Apel atau jeruk?"

"Jeruk."

"Kecil atau tinggi?"

"Tinggi."

"Atas atau bawah?"

"Bawah, dong."

"...."

"... Apa?"

"Apa apa?"

"Kenapa melihatku seperti itu?"

"Seperti apa?" tanyaku tak sabar. Tak ada jawaban, aku lanjutkan pertanyaanku.

"Cantik atau lucu?"

"Cantik, lucu, eh, tunggu sebentar. Maksudku, itu ekspresimu. Caramu melihatku. Alismu sedikit mengkerut dan bibirmu terkatup rapat. Kenapa? Itu lucu banget. Maksudku, kamu emang cantik tapi kalau ekspresimu seperti itu kau jadi tambah cantik. Juga lucu. Eh, aku sudah sebut itu belum, sih?"

Aku terpana mendengar itu dari dirimu. Setelah sepersekian detik berlalu barulah kau sadar dengan apa yang tadi kau katakan.

Ada sedikit rona merah muncul dikedua pipimu.

"Tadi, a-aku bicara apa?"

Aku hanya sanggup memperhatikanmu, salah tingkah, tak dapat mengeluarkan suaraku.

"Bukan seperti itu maksudku, aku hanya..." kau mendesah, tidak dapat menemukan kata yang tepat.

Melihatmu panik, hanya karena hal kecil seperti ini, membuatku tersenyum kecil.

"Ma-" kau mencoba lagi.

"Jangan,"

kataku. Memotong kata yang hendak kau keluarkan. Maaf.

"Makasih," kataku, menatapmu malu. "Aku anggap itu sebagai pujian."

Kau menatapku tak percaya. Lalu perlahan senyummu kembali terbentuk. Kedua matamu, mata hitam itu, menatapku hangat dengan cara yang sangat familiar.

"Iya, sama-sama."

Aku pernah merasakan tatapan itu.

Benar, kan. Kenapa kalau denganmu, hal-hal kecil seperti bernapas, menjadi lebih sulit?

Seperti sekarang ini; menyadari pandanganmu, tersenyum kepadaku.

Aku harus berusaha lebih keras untuk bernapas normal, bertingkah normal.

Tapi, mengingat kejadian tadi, mungkin bukan hanya aku yang merasakan kesulitan ini.

Ada seseorang yang tak sanggup menahan dirinya, untuk tidak mengeluarkan semua yang ada dipikirannya.

Kamu.

***

Paradoks:Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang