Pertanyaan untukmu, tinggal satu. Aku tersenyum mengingat jawaban-jawabanmu sebelumnya. Mengingat kita, tertawa, menghabiskan waktu bersama.
"Siap-siap," kataku seraya memerhatikanmu. "Ini yang terakhir."
Kau mengangguk semangat, tersenyum lebar. Tak sabar untuk segera menjawabnya.
"Gunung atau laut?"
"Ah," kau berpikir sejenak. "Khusus untuk yang satu ini, maukah kau dengar penjelasanku?"
Alismu, garis rahangmu, air mukamu. Mata hitammu menatap persis kedua mataku, mencari tahu lebih jauh apa yang ada dipikiranku. Untuk pertama kalinya hari itu, senyummu hilang.
Aku cukup mengenalmu untuk tahu, ekspresi mukamu itu... serius.
Apa yang salah denganku? Kenapa kau lihat aku dengan muka itu? Aku, aku mau senyummu.
"Eh, oke. Ya, ya, tentu saja," jawabku, sedikit melantur.
Melihatku seperti itu senyummu kembali, seakan kau memang tahu apa yang ada dipikiranku.
Aku tidak tahu kau seserius itu. Tidak setelah kau menyuarakan jawabanmu.
"Bisu atau tuli? Sejujurnya, aku tidak mau memilih di antara keduanya.
Tidak bisa menyuarakan pikiranku atau tidak bisa mendengar tawamu?
Aku lebih memilih bisu.Karena kau ingin aku pilih satu.
Apel atau jeruk? Sejujurnya, aku tidak masalah dengan keduanya.
Warna merah atau warna jingga?
Aku lebih memilih jingga.Karena kuingat, itu warna favoritmu.
Gunung atau laut? Dataran tinggi atau dataran rendah? Hijau atau biru?
Entahlah, aku suka keduanya.
Tapi, itu tidak penting. Aku suka gunung maupun laut, itu tidak penting. Karena itu tentang aku. Biru, kau ingat? Warna favoritku. Aku bisa saja langsung menjawab laut.
Tidak. Itu tidak bisa dijadikan alasan. Warna favoritku tidak bisa dijadikan alasan. Biru bukanlah perhatianku disini. Biru ingin jingga. Biru butuh jingga. Gunung, ataupun laut, tidak berarti apa-apa jika jingga tak ada disampingnya.
Jingga penting bagi biru.
Biru. Aku.
Jingga. Kamu.
Kamu penting bagiku.
Karena ini semua tentang kamu."
Butuh waktu lama bagiku untuk mengerti semua perkataanmu.
Susah untuk fokus, jika kamu berada persis disampingku. Jika kamu, perlahan menyentuh tanganku, lalu menghangatkannya dalam genggamanmu. Jika kamu, dengan senyummu itu, memandangku dengan cara yang membuat hangat seluruh tubuhku.
Seperti sekarang ini; mendengar kata-katamu, ditujukan kepadaku.
Aku suka caramu menjawab semua pertanyaanku. Aku suka suaramu. Aku bahkan suka ekspresi seriusmu itu.
Aku.. mengagumimu.
"Jadi, eh, jawabannya?"
Tanyaku, merutuki diri sendiri karena hanya itu yang sanggup kuberikan untukmu.
Maafkan aku, karena tidak seperti kamu. Aku bukan dirimu. Aku tidak pandai merangkai kata. Aku tidak memiliki senyum seindah itu.
Aku menginginkanmu.
"Jawabannya..," bisikmu. "Adalah kamu."
Aku butuh dirimu.
"Kamu. Asal aku bersamamu. Asal kamu selalu disisiku. Tidak peduli terik maupun hujan. Siang maupun malam. Gunung atau laut," lanjutmu. "Aku bersedia kemana saja, melakukan apa saja. Untuk dirimu. Hanya kamu."
Kembali aku kehilangan suaraku. Kau menangkap itu sebagai tanda untuk memperjelas maksudmu.
"Bantu aku," ekspresi seriusmu perlahan pudar, digantikan dengan raut memelas yang selalu muncul ketika kau amat sangat menginginkan sesuatu.
Aku tidak pernah bisa berkata tidak terhadap kamu yang seperti itu.
"Jadilah milikku, selalu disampingku."
Kau pun tahu apa jawabanku.
Karena itu, ketika kau menunggu reaksiku, aku cukup menjawabmu dengan anggukan kecil dan senyum terbentuk dibibirku. Senyum tulus. Hanya untukmu.
Melihat itu, muncul kelip dimatamu.
"Ya?"
"Ya."
Gunung. Laut.
Biru.
Kamu.
***
Jakarta, 31 Januari 2016
// l.a.f
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 2 / antara Gunung & Laut. "Aku ini egois. Di atas sana aku selalu berharap kalau kau ada di sisiku, menemaniku. Sedangkan kau setia menungguku, di bawah sini, berharap agar aku cepat kembali kepadamu. Padahal aku tahu, gunung dan laut tidak seharu...