"Makan atau mandi?"
"... Makan?"
"Mandi atau tidur?"
"Uh..," katamu, ragu. "Aku pilih makan lagi, boleh?"
Khas dirimu.
"Boleh," aku tertawa kecil.
Selanjutnya terasa kabur. Aku tidak ingat apa pertanyaanku maupun jawabanmu.
Aku bertanya. Kau menjawab. Aku tertawa karena jawaban bodohmu, kau tertawa karena tawaku.
"Ayah atau ibu?"
"Nenek atau kakek?"
"Kok balik nanya?"
"Gak tahu," katamu, nyengir
Lagi-lagi, aku tertawa. Hal yang sering kulakukan saat aku bersamamu. Bukan masalah. Adanya kamu disampingku selalu menjadi waktu bahagiaku.
Seperti sekarang ini; mendengar suaramu, tertawa bersamaku.
Dari sudut mataku, aku bisa lihat kau tersenyum. Bukan, aku bisa merasakan. Senyum tulus itu, selalu berhasil menghangatkan hatiku.
"Aku sudah pernah bilang, belum, kalau aku suka tawamu?"
Selalu berhasil meluluhkan hatiku.
Butuh sedikit waktu untuk mengeluarkan suaraku. Ini salahmu. Salahmu aku kehilangan kemampuan mengendalikan diriku. Salahmu aku tidak bisa melepaskan pandangku dari kedua matamu.
Salahmu aku tertawa.
Salahmu. Semua salahmu. Karena aku ingin terus melihat senyum itu.
"Dua kali," sahutku pelan, menahan senyum. "Atau tiga. Gak tau, lupa."
Alismu terangkat, sedikit terkejut. Heran, mungkin. Bertanya-tanya bagaimana aku mengingat itu.
"Aku akan mengatakannya lebih sering, kalau begitu." Katamu dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahmu.
Dengan susah payah, aku tahan rasa senangku mendengar hal itu.
Kembali kualihkan pandangku, dari matamu, ke daftar pertanyaanku.
Tiga kali, kataku dalam hati. Itu bohong. Aku ingat.
Aku tidak lupa.
Tidak akan lupa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 2 / antara Gunung & Laut. "Aku ini egois. Di atas sana aku selalu berharap kalau kau ada di sisiku, menemaniku. Sedangkan kau setia menungguku, di bawah sini, berharap agar aku cepat kembali kepadamu. Padahal aku tahu, gunung dan laut tidak seharu...