The Last Meeting?

638 37 3
                                    

"Karena gue gak bakal biarin lo nyakitin, cewek yang gue sayang"

Seketika aku melongo. Cewek yang gue sayang? Apa ini maksudnya, Ian suka padaku? Apa dia benar benar menyanyangi aku?

Aku masih ternganga saat Ian dengan cepat membawaku keluar dari resto ini. Dia membuka pintu mobilnya untukku dan membuatku masuk kedalam mobilnya itu. Seketika bau khas Ian menyeruak masuk ke indera penciumanku.

Kenapa rasanya aku jadi rindu banget sama Ian sih?

Ian segera melajukan mobilnya entah menuju kemana. Aku hanya terdiam.

"Napa lo mau ngikut sama Valdo sih?!" Aku bingung. Tiba-tiba Ian memarahi aku. Setauku aku tidak bersalah.

"Aku rasa itu bukan sebuah kesalahan kalau aku ikut dengannya" jawabku. Ian lalu noleh ke aku.

"Gue tanya sekali lagi. Napa lo ngikut Valdo tadi? Napa lo mau diajak ngedate gitu?" Tanyanya dengan nada membentak. Kenapa Ian memarahi aku sekarang? Kenapa dia membawaku keluar dari resto itu hanya untuk memarahi aku?

"Anne! Lo gak dengerin gue? Jawab gue Nne! Napa lo biarin Valdo deketin elo?!" Tanpa sadar, bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipiku. Aku gak ngerti sebenarnya apa kesalahanku. Lagipula aku tidak ngedate sama Valdo.

"Lo suka sama Valdo?" Aku terisak. Kenapa Ian harus memarahi aku. Memangnya apa salahku?

Ian lalu noleh ke aku. Aku dengan segera membuang muka masih sambil terisak. Ian segera menepikan mobilnya.

Ian membuka pintu mobilnya untukku dan menyuruhku keluar. Baiklah. Mungkin Ian akan menelantarkan aku disini. Biarlah.

Ian segera menutup pintu mobilnya itu lagi. aku masih terdiam dalam isakanku dan mulai berjalan entah kemana. Aku tau dia mungkin bermaksud nurunin aku disini.

Ian ngecekal tanganku dan menyandarkanku pada badan mobilnya.

"Hikss... hikss" aku sudah tidak tahan membendung air mata ini. Aku sudah tidak peduli lagi.

"Kenapa kamu mar--" ucapanku terputus saat Ian memelukku. Tangisku makin menjadi-jadi. Aku tidak mengerti Ian.

Ian masih saja memelukku, bahkan dia makin mempererat pelukannya itu sampai tangisku agak mereda. Aku hanya bisa menggenggam erat kemejanya itu.

"Maafin gue Nne" ucapnya tiba-tiba. Ian belum melepas pelukannya.

"Maafin gue" ucapnya sekali lagi sambil mengelus rambutku dengan lembut.

"Aku tidak mengerti, Ian. Aku tidak mengerti kamu" dan aku mulai terisak lagi. "Aku tidak mengerti, kenapa kamu tiba-tiba memarahi aku seperti itu. Apa salahku?"

Ian mengecup keningku sekilas sebelum mempererat pelukannya lagi. "Gue gak ngerti harus ngomong apa sama lo. Gue gak ngerti harus ngemulai dari mana" ujarnya. Aku terdiam. Jantungku kembali berdegub dengan kencang. Aku menyukai Ian. Aku sangat menyukainya.

"Gue sayang lo, Nne.. " tiba-tiba tubuhku serasa membeku. Jantungku terasa berhenti berdetak. Tanpa kusadari aku bahkan menahan napas. Tenggorokanku rasanya tercekat.

Ian melepas pelukannya. Sesegera mungkin aku sadar dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kata-kata Ian tadi membuat jantungku serasa diremas saja.

Aku masih melongo menatapi Ian. Dia hanya menggaruk tekuknya yang gak gatal itu lagi.

Cup!

Aku bisa rasakan sesuatu yang lembab menempel dibibirku sekilas. Ian baru saja menciumku 'kan?. Astaga, rasanya aku tidak bisa bernapas lagi.

From Me To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang