Petrichor

1K 23 6
                                    

Petrichor in the air tonight, as rain falls to my delight. Tumbling off angel wings, as it falls the wind does sing.

Nopember bermula. Bulan ketiga dari awal bulan penghujan, meski nyatanya di dua bulan awal justru bukan hujan yang sering ditemuinya. Hanya panas, sengatan terik matahari, keringnya tanah hingga menimbulkan jejak retak di permukaan, semuanya bersatu seolah paham dengan ingin hatinya yang benci musim penghujan.

"Kenapa?" Kutolehkan kepalaku menuju sumber suara. Di sini, dari sudut kanan bagian belakang ruang kelas ini, meski tak terlalu dekat dengan tempat duduk dua wanita di pojok kanan depan kelas itu, tapi ia masih bisa melihat dengan jelas paras mereka berdua. Dua gadis dengan jilbab putih membungkus kepala mereka. Tampak akrab. Pertanyaan tadi dilontarkan oleh gadis yang tengah duduk, yang berwajah hitam manis dengan pipi sedikit berisi, untuk gadis yang baru saja meletakkan tasnya dengan kasar di atas meja. Wajahnya tampak benar-benar kesal, meski entah kenapa ia justru menganggap tingkah gadis itu imut.

"Kenapa, maksudnya?" Suasana kelas masih lengang, wajar jika percakapan mereka dapat kucuri dengar dengan jelas.

"Itu, muka kamu. Ekspresinya super payah banget."

"Ngga kenapa-kenapa. Aku cuma benci dengan pagi ini. Ini masih jam tujuh pagi, tapi lihat, panasnya matahari sudah segini parahnya!" Tanpa sadar bibirku membentuk senyum. Jenis wanita pembenci panas, rupanya.

"Ya ampun, heran deh ya. Ini cuma perkara panas. Kaya Surabaya ngga pernah panas aja. Lagian ya Gia, kemaren kamu juga bilang benci sama paginya, dengan alasan yang sama. Cuma karena panas!" Ujar gadis hitam manis tersebut. Secara terang terangan menampilkan mode muka jengahnya. Sementara gadis yang tengah kesal tadi, hanya bersandar malas di kursinya sambil teratur mengusapkan tisu ke keningnya yang separuhnya tertutupi hamparan kerudungnya.

"Mau gimana lagi dong. Aku benci panas, Dara sayang." Jawabnya acuh dengan bahu naik turun, kemudian beranjak berdiri meninggalkan temannya yang ia panggil Dara tadi kebengongan.

Sejenak, gadis yang disebut Gia tadi berhenti dari langkahnya. Merasa diperhatikan mungkin. Kemudian menatapnya dengan sorot bingung yang kentara. Aku hanya membuang muka panik. Takut dikira menguping meski nyatanya memang itu yang kulakukan. Mengalihkan pandanganku pada pemandangan di luar kelas yang dipenuhi murid-murid sekolah tengah berdesakan.

Aku merasa sungguh pilihan yang tepat untuk memilih tempat duduk ini sebagai tempat duduk di kelas. Tepat bersebelahan dengan jendela, dan begitu dekat dengan sinar mentari. Kurapatkan wajahku pada jendela kaca, merasakan sensasi hangat matahari yang membasuh muka hingga menimbulkan ketrentaman yang begitu kusukai.

Sebagian dari murid di luar ada yang berjalan sendirian, dan sebagian lagi ada yang berjalan dengan dua atau lebih dari lima teman. Dirinya makin asik memperhatikan ekspresi tiap-tiap mereka. Memperhatikan gelak tawa, senyum kecil, adegan dorong mendorong khas pertemanan, hingga langkah satu orang itu. Si pembenci mentari, tengah membuang tumpukan tisunya tadi di tong sampah sambil mengobrol dengan seorang pria berperawakan tinggi, dengan garis rahang tegas, berkulit putih dan senyum hangat. Keduanya tertawa ringan, seolah sangat menikmati jenis percakapan yang mereka lakukan. Berbeda sekali dengan aura awal gadis pembenci matahari yang tadi dilihatnya. Bel masuk sekolah berbunyi, menyadarkanku pada tingkat kefokusanku yang terlalu tinggi kepada si Gia itu, tapi masih dapat kulihat mereka berdua berpisah setelah tangan si pria menepuk ringan kepala Gia. Membuatku berpikir, jenis hubungan apa yang mereka miliki.

***

"Materi pelajaran kita hari ini Energi potensial Listrik. Buka buku penuntunnya halaman 133. Seperti biasa, saya akan memberikan waktu membaca buku 15 menit. Setelahnya silahkan keluarkan kertas selembar." Kencang koor seisi kelas. Sudah jelas, kertas selembar berarti tes sebelum memasuki materi. Meski terlihat seperti sebuah kebiasaan, tetap saja penghuni kelas seolah ingin muntah mendengar pemberitahuan mengeluarkan kertas selembar dari guru fisika itu.

"Tenaaaang." Hening melanda.
"Oh ya, sekolah kita kedatangan murid baru. Dan dia masuk di kelas kalian." Mendadak semua mata seolah manatap padaku. Double shit!
"Sebelumnya mari kita dengar perkenalan dari teman baru kalian." Ah, pindah sekolah sialan!

"Ayo, kamu maju. Waktu kita tidak banyak." Oh tekanan ini. Sialan sekali! Jika waktunya memang tidak banyak, kenapa harus menyisakan waktu untuk acara perkenalan kekanak-kanakan begini! Persetanlah, toh akhirnya aku pun melangkah, menghiraukan segala tatapan dan berdiri di depan.

"Nama saya Guntur Hermawan. Pindahan dari SMA 2 Banjarmasin." Kutatap guru fisika tadi, meminta persetujuan untuk duduk yang kemudian dibalasnya dengan anggukan. Oh, kebiasan paling menyebalkan dari pindah sekolah ini, kuharap akan segera ada undang-undang untuk menghapusnya dengan ganjaran gundul rambut jika dilakukan lagi.

Semua mulai sibuk dengan pre-test guru fisika tersebut. Termasuk gadis pembenci mentari itu. Geraknya nampak jelas terfokus pada lembar jawabannya, tak nampak sedikitpun kebingungan dalam caranya menjawab. Sebuah muka pasti tertera jelas di sana, berbeda sekali dengan penghuni kelas lainnya. Padahal soal pre-test ini bukan merupakan soal sulit yang butuh memutar kepala berkali-kali mengerjakannya. Dan yah, sudah kuduga, dia yang pertama kali mengumpul lembar jawaban di depan, yang kemudian disusul dengan aku. Yang akhirnya membuatku dihadiahi sepasang tatapan, entahlah, mungkin terkejut atau malah heran.

Dan tadi, aku sempat melihat, nama gadis itu...Gia Mentari.

***

Ini nopember. Sudah sewajarnya hujan turun sesering mungkin. Ini nopember. Sudah sepatutnya mentari tak mengolok-ngolok diriku. Dan ini awal bulan nopember, sudah seharusnya langit mengeluarkan tangis sederas ini.

Aku sibuk berkutat pada buku fisika di tanganku. Duduk di kursi depan kelas menunggu waktu yang tepat untuk menerobos hujan.

5 menit.

10 menit. Segera kumasukkan buku fisikaku ke dalam tas, lalu membungkus tasku dengan pelindung hujannya. Kemudian berdiri, terdiam sejenak di ujung teras kelas. Menengadahkan tangan searah pada ujung atap, membiarkan jemariku disapa hujan terlebih dahulu. Kulangkahkan kakiku menyapa hujan. Membiarkan rintik tangis langit menimpaku. Memberikan sensasi dingin yang familiar. Nyaman. Sebuah kenyamanan yang tak deskripsikan. Ah entah apa yang membuatku begitu menyukai segala hal tentang hujan. Terutama aroma ini. Petrichor. Aroma hujan.

Sampai kurasakan sebuah payung menaungi tubuhku. Membuatku menengadah menatap si empu payung.

"Nekat banget nembus hujan. Ngga takut sakit apa?" Ah, murid baru itu. Aku hanya tertawa, dapat kulihat dengan jelas kernyitan di kening pria ini. Heran mungkin dengan keanehanku.

"Aku sudah menunggu 10 menit lebih."

"10 menit? Kamu pikir setelah sepuluh menit, semua senyawa asam yang ada di rintik hujan sudah pasti hilang semua?" Geramnya kesal. Aku cuma bisa tersenyum.

"Kamu benci hujan?" Ujarku yang lebih berat ke sebuah kesimpulan dari pada sebuah pertanyaan.

"Tidak benci. Hanya kurang suka. Aku kurang suka dengan sensasi dingin, basah, becek, dan aromanya. Aku lebih suka mentari." Aku kembali menjawab dengan senyuman.

"Kenapa tersenyum." Tanyanya dengan raut penasaran.

"Ngga, aku cuma heran. Nama kamu Guntur Hermawan. Guntur-awan. Seharusnya kamu suka hujan." Aku tergelak sendiri dengan pikiranku. Membiarkan dia berpikir dengan kalimatku tadi.

"Kamu juga. Gia Mentari. Tapi benci cahaya terik matahari." Aku terdiam. Kemudian tersenyum lagi.

"Ya sudah, aku ngga perlu dipayungi kok. Rumahku dekat dengan sekolah. Jalan kaki 15 menit juga sampai. Lagipula, aku memang ingin main hujan. Dan, terima kasih untuk percakapan berkualitasnya." Ujarku yang kemudian berlari kecil mendahuluinya. Tapi kemudian tersadar akan sesuatu yang membuatku untuk kembali berpaling menatap Guntur.

"Oh ya, menunggu 10 menit untuk baru bisa bermain hujan, memang tidak memastikan rintik hujan bebas dari senyawa asam dan mikroba, tapi bukankah segala hal dalam hidup tak pernah bebas dari resiko? Setidaknya aku mencoba menguranginya." Ucapku sedikit mengeraskan suara karena kencangnya deru hujan.

-----------
Petrichor: Bau tanah yang terjamah hujan. Aromanya khas banget. Biasanya aroma ini bakalan lebih kentara kalau awal sebelum di sapa hujan tanahnya kering, tanah habis kemarau apalagi. Aromanya indah banget menurut saya.

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang