Berhenti Membenci Hujan

360 17 33
                                    

Semua hari berjalan seperti semestinya semesta berputar. Rutinitas sekolah pun tengah mencapai kepadatan yang tinggi-tingginya mengingat hampir disambutnya segala keruwetan menuju UAN, dan dampak besarnya benar-benar kurasakan sebagai siswa kelas tiga SMA. Hari ini senin, jenis hari yang kubenci dengan sepenuh jiwa dan ragaku.

Gerbang sekolah mulai tampak ramai oleh kerumunan siswa yang mulai memasuki sekolah. Aku melangkah malas melewati gerbang. Sejenak kupaksa hidungku untuk menghirup udara lebih dalam, menikmati satu hal baik yang terjadi di awal hari ini, yaitu sejuknya pagi dengan awan hitam di langit-langit bumi.

Entah sejak kapan, aku tidak terlalu membenci hujan lagi, hadirnya tak pernah membuatku menggerutu sebanyak sebelumnya meski nyatanya aku tetap tak suka dengan perasaan yang kurasakan kala hujan menyapa. Mungkin karena Gia suka hujan, pikirku. Aku tersenyum sekilas. Bagaimana mungkin Gia bisa membuatku tidak membenci hujan? Sejauh ini jawaban yang kudapat adalah, bahwa...suatu hal yang sekalipun amat sangat kau benci, bisa jadi akan kau sukai jika kau mencoba melihat sisi lain dari hal tersebut. Terserah sisi apa saja, cobalah melihatnya dari kaca mata mereka yang menyukainya. Tersebab suka dan benci hanya masalah selera yang berusaha kau pertahankan dengan dalil terjadi begitu saja padahal tak lain karena keegoisan diri.

Kuperhatikan lingkungan sekolah disambil dengan merapatkan jaket. Dinginnya bukan main. Sejenak mataku terpaku ke tempat parkir yang terletak di sebelah kanan, dekat kantin sekolah tak jauh dari gerbang. Aku berhenti, jika tak salah lihat, itu Gia dengan pria yang kulihat akrab bersamanya dulu saat pertama kali aku masuk sekolah ini.

Kupalingkan wajahku, kembali mengayun langkah menuju kelas. Menghiraukan apa yang kupandang tadi. Gia memberikan helm pada si pria diiringi dengan gelak tawa karena percakapan mereka. Dan artinya, mereka berangkat bersama ke sekolah, berdua, berboncengan menggunakan motor. Sebentar, kupukul kepalaku sekali, apa-apan, sejak kapan otakku mulai tidak waras memikirkan hal sesepele ini. Sialan.

"Kamu!" Aku menoleh ke arah suara.
"Kamu ngelamun ya, aku panggilin dari tadi juga." Kuhadiahi si manis ini dengan lengkungan senyum.

"Maaf." Alih-alih menyebut namaku, orang ini lebih suka emanggilku dengan kata ganti nama 'Kamu', dan satu-satunya orang yang melakukan itu adalah Alya. Butuh beberapa langkah lagi agar dia dapat berdiri di sampingku. Kami berjalan beriringan, dia meraih jemariku untuk dia kaitkan dengan jemari kirinya. Gadis ini tersenyum sumringah.

"Ini di sekolah, Alya."

"Cuma pegangan tangan kok." Ujarnya sambil mengangkat kaitan tangan kami. Alya memang begitu, tak usah berpikir jika dia adalah jenis gadis yang menyukai banyak skinship, karena kenyataannya dia jauh dari itu. Dia hanya sedikit tergila-gila dengan adegan berpegangan tangan. Ungkapan sayang yang sederhana tapi penuh makna, katanya. Makanya, di setiap saat kami bisa berbagi waktu, dia akan selalu melakukan tindakan tersebut. Sejauh ini, aku pun turut menyukainya.

Mungkin karena itu aku menyukai Alya, dia selalu sederhana dalam pikirannya. Berbanding terbalik dengan cara orang lain memandangnya. Caranya memandang dunia persis sama dengan diriku. Meski tak banyak hobi sama yang kami miliki, toh sejauh ini kami selalu bisa membiarkan masing-masing pihak menjalani apa yang disukai. Dia juga bukan tipe gadis pemaksa yang kerjanya sibuk membuat pasangannya ikut menyusuri setiap pintu toko baju di mall hanya untuk membuat tumpukan baju di lemarinya bertambah. Dan yah, dia cerdas.

"Kamu nanti pulang di jemput?" Aku melihat ke arahnya.

"Iya, motor masih di bengkel soalnya. Kenapa?" Aku merapatkan kaitan telapak tangan kami.

"Aku bawa motor. Nanti pulang bareng aja." Langkah kami sampai di depan kelas Alya (kelas kami bersebelahan). Dia berhenti.

"Kok tumben berangkatnya ngga barengan sama Bapak?"

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang