Memuja Tutur

402 17 4
                                    

"Suka baca juga?" Kaget kumenoleh pada si pemilik suara. Ah, Guntur.

"Lumayan." Dia kemudian menarik kursi tepat di sampingku. Duduk di sana dengan sebelah tangan memegang sebuah buku cukup tebal. Jika tebakanku benar, maka itu memang sebuah novel. Novel karya Andrea Hirata, Padang Bulan.
"Kamu suka baca?"

"Suka." Kini dia sibuk membolak-balik lembaran bukunya, mencari halaman terakhir bacaannya mungkin. Tak lagi menatapku, justru aku yang menatapnya, lupa akan apa yang tadinya menjadi fokusku.
"Jangan fokus banget ngeliatinnya, Gia. Nanti kamu naksir aku lo." Dia beralih pandang padaku sembari tergelak tanpa suara. Aku diam saja, meski akhirnya ikut tersenyum karenanya. Dia punya jenis tawa yang menular.

"Padang bulan?" Tanyaku yang mulai kembali pada rangkaian kalimat novel di tangan. Lalu bersandar santai pada punggung kursi, menunggu jawabnya.

"Ha?" Jeda sejenak. "Ya, Padang Bulan. Kamu tahu?" Ucapnya tak lama setelah paham arah pembicaraanku.

Perpustakaan lengang sekali. Membuat seolah kami berada pada tempat paling terpencil di bagian bumi ini, meski nyatanya perpustakaan memang suatu tempat yang bisa dibilang terpencil jika sekolah diibaratkan sebagai suatu planet. Keberadaan yang hanya berdua saja ini, menyisakan perasaan ganjil yang tak kupahami. Aku sempatkan mataku untuk membaca bagian kalimat akhir di lembar yang tengah kubaca, lalu kemudian membaliknya.
"Tahu. Novel karya Andrea Hirata, kan?"

"Uhm. Pernah baca?"

"Ngga. Satu-satunya novel Andrea Hirata yang pernah aku baca cuma Laskar pelangi."

"Jadi darimana kamu tahu ini novel Padang Bulannya Andrea?" Dia dan aku. Kami, melakukan perbincangan meski tanpa tatapan. Dia sibuk dengan novelnya, begitu pula aku. Tapi yakinlah, meski begini, bukan berarti aku tak menghargai percakapan ini. Aku bahkan lebih mengencangkan indra pendengaranku dari pada indra penglihatanku tanpa alasan khusus yang terjelaskan.
"Aku kenal seseorang yang suka sekali dengan novel yang kamu baca itu. Mungkin lebih tepatnya, dia memang selalu suka dengan semua karya Andrea."

"Orang spesial?" Kegiatan membacaku terhenti untuk beberapa detik, sebelum akhirnya aku kembali menulusuri kalimat di novel ini.

"Jujur saja, aku tak paham orang spesial seperti apa yang kamu maksud. Bisa jadi pengertian orang spesial menurutmu berbeda jauh dengan pemahaman mengenai orang spesial bagiku. Jadi yah, jika kamu tanya apakah dia orang spesial, maka jawabanku, ya."

"Aku tak pernah berpikir bahwa pertanyaanku tadi bisa menimbulkan beragam makna."

"Kenapa tidak? Bahkan kata 'atau' sekalipun bisa memberikan arti lebih dari satu."

"Kamu memang selalu sesulit ini ya?" Aku mengernyit dalam, bingung sampai pada titik di mana hasrat untuk menatap lawan bicaraku ini tak terbendung lagi, meski sang pemberi pertanyaan tak teralihkan sama sekali dari bacaannya.

"Maksudnya?"

"Kamu terlalu takut bahwa pikiranmu tak memberikan jawaban yang benar."

Diam. Aku bahkan tak tau harus menjawab apa. Yang kutau saat itu aku hanya langsung tertawa hingga ibu penjaga perpustakaan menegur kebisingan yang kubuat. Dapat kulihat dia memperhatikanku dengan seksama. Biarlah, biarkan hanya tawa sebagai saksi atas kebodohanku untuk tanyanya.

Setelah itu keheningan kembali menyelimuti atmosfer di antara kami. Aku kesulitan bernapas, ingin rasanya aku berlari dari ruangan ini kemanpun agar bisa melancarkan sistem pernapasanku. Berada bersama Guntur memang menyenangkan, dia selalu punya daya tarik dalam tuturnya yang membuatku nyaman untuk bertanya, bercerita, ataupun membantah kalimatnya. Bukan hanya saat kami sedang berdua, di dalam kelas pun begitu, tak jarang terjadi debat antara kami berdua dalam suatu mata pelajaran, dan dia cerdas, itu kesimpulan yang kutarik sejak melihat keaktifannya dari semenjak dia pindah ke sekolah ini dua minggu yang lalu.

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang