Mulai Memberi

58 4 0
                                    

Sudah lama sejak terakhir kali dia menginjakkan kakinya di panti asuhan ini, mungkin sekitar dua bulan lalu. Sebuah tempat penuh kenangan baik sekaligus buruk dalam hidupnya. Tempat yang membentuk dirinya menjadi manusia seperti sekarang. Meski tak melulu penuh dengan kenangan baik, tak ada sedikitpun penyesalan dalam dirinya karena pernah bernaung lama di panti asuhan ini. Bertemu ibu panti asuhan sebaik Bunda Hening. Teh Ani yang selalu memasak makanan enak sejak dia di sini sampai dia sudah di tempat lain. Mang Agus tukang kebun panti asuhan yang selalu berusaha menemaninya bermain di sela sela pekerjaannya. Semuanya punya makna, dan dia bahagia bertemu dengan manusia manusia malaikat seperti mereka.
Dirasakannya angin berhembus membelai wajahnya. Begitu lembut hingga dia tergerak untuk memejamkan mata. Menikmati waktu duduknya di taman belakang panti asuhan, tempat rindang penuh pohon dengan hamparan rumput hijau rambat dan bunga di mana mana, hasil kerja keras Mang Agus.

Gia membuka matanya kala dirasanya seseorang duduk di sebelahnya. Bunda Hening.

"Ibu kamu mencari kamu kemana-mana tadi. Katanya kamu hilang sehabis membantu Teh Ani mencuci piring. " Bunda Hening meraih telapak tangan kanan Gia untuk kemudian di dekap dengan kedua tangan hangat ibu panti asuhannya tersebut. Menyalurkan perasaan amat sangat dicintai yang begitu menyenangkan di hati.
"Lalu Bunda ingat kalau taman ini selalu jadi tempat favorit kamu."

Gia tersenyum hangat, lalu balas mendekap tangan Bunda Hening.
"Ibu memang selalu suka berlebihan seperti itu, Bunda. Padahal aku sudah sebesar ini, mana mungkin hilang sih." Mereka berdua tertawa.

Bunda mengelus sembari menatap jemari Gia, lalu ia arahkan matanya pada kedua bola mata anak asuhnya ini. Tangan kirinya tergerak untuk membenahi jilbab gadis tersebut.
"Kamu sudah sebesar ini ternyata. Waktu cepat sekali berlalu. Meski masih belum bisa menghapus lukamu karena Bunda."

Gia menggeleng, ada air mata yang menggantung di pelupuk matanya.

"Sungguh, Bunda tak pernah memberikan luka apapun pada Gia. Tidak sama sekali."

Bunda Hening tak mampu lagi menahan air matanya, ia menangis begitu pilu hingga Gia tergerak memeluk Bunda Hening. Katakanlah dia memang terluka karena masa lalu tersebut, tapi ia yakin pasti jika Bunda adalah orang yang paling terluka. Dari siapapun.

"Bang Rian pernah bilang, dia akan selalu jadi hujan buat Gia supaya dia bisa menghapus setiap luka di masa lalu Gia. Dan sekarang sudah tujuh tahun Bunda sejak Gia bersama dengan Ibu dan Bang Rian, perlahan luka Gia mulai membaik. Batupun pasti mulai terkikis jika dihujami hujan terus menerus. Untuk itu..." Gadis itu mulai melepas pelukannya terhadap Bunda. Ia tatap pasti kedua mata ibu pertama dan selamanya itu, "Berhenti untuk terus membiarkan diri Bunda terluka karena Gia, sebab Gia sendiri sudah sangat membaik sekarang."

Ia sabarkan hatinya meski sebenarnya dia masih berusaha menyusun kepingan hatinya yang telah dirusak. Tapi luka seperti ini tak pantas dipikul oleh seseorang yang mampu mencukupi kasih sayang untuk dirinya sedari dia masih bayi merah dan dibuang di panti asuhan ini.

"Dan lagi, jika ada yang patut disalahkan, itu bukan Bunda."

***

"Ibu mana, Gi?" Tanya Rian tak lama setelah dia keluar dari mobilnya menghampiri Gia yang sibuk dengan ponselnya, berdiri di depan pagar panti asuhan menunggunya. Ia sempatkan mengusap kepala adiknya tersebut.

"Itu..." tunjuk gadis berparas Ayu tersebut pada wanita paruh baya yang tengah melangkah menuju mereka. Meski tak lagi muda, wajah cantiknya belum sepenuhnya terkikis. Rian segera menyalami ibu kandungnya tersebut.

"Lama ya nunggunya?" ucap Rian.
"Nggak kok, ini juga tadi Gia baru aja nunggu abang. Ibu tadi pamit dulu sama Bunda Hening." Sahut Ibu mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang