Boneka itu terdiam, tersandar tak berdaya di sebuah kursi roda rusak dengan sebuah selang infus tergantung di sampingnga.
Satu-satunya hal yang menunjukkan bahwa kamar yang kutempati ini adalah kamar anak perempuan mungkin hanyalah Boneka raksasa seukuran manusia itu.
Tak ada satupun benda disini yang menunjukkan sisi feminimku, bahkan buku-buku cokelat di rak-rak buku itu terlihat maskulin.
Tempat ini hanya berisi buku, ratusan buku yang menghiasi rak di setiap dinding. Buku-buku anatomi tubuh manusia, taksonomi, pembedahan, kedokteran, zat-zat kimia berbahaya, obat yang bisa menjadi racun dan lain sebagainya.
Aku mungkin bisa menyebutkan semua buku itu dalam mata terpejam, tapi hal itu pasti membosankan. Aku juga tidak yakin bahwa kakak akan menyukai hal itu.
Seluruh buku di tempat ini adalah hadiah dari Papa Mahendra, semuanya sudah kubaca tanpa kuhafalkan. Karena meskipun aku tak menginginkannya, seluruh buku itu telah bersarang di dalam kepalaku sebelum aku menyadarinya.
Tak peduli meskipun aku tak pernah melupakan setiap lembar dari buku itu, akan tetapi aku tetap membiarkan buku-buku itu berada disana. Memiliki ruangan berisikan banyak buku terasa lebih menyenangkan daripada tidak.
Karena ada satu jiwa dan ratusan kepribadian dalam sebuah buku.
Aku mencintai semua buku-buku itu, mereka selalu berbicara padaku melalui sebaris huruf di setiap lembarnya. Buku itu menenangkanku, membuatku sejenak lupa akan obsesi dan ketergantunganku pada Kak Damian.
Meskipun aku sudah tahu kata apakah yang akan terucap dari buku-buku itu.
Kamarku ini bukannya tanpa hiasan, akan tetapi tumbuhan pemakan serangga, dan lampu lava dengan bola mata yang bergerak didalamnya itu sama sekali tak terlihat imut.
Aku duduk memeluk lutut di atas tempat tidur berwarna putihku. Gaun tidur hitam menutup sebagian kulit tubuhku, dan membiarkan punggung dan lenganku terbuka.
Malam ini aku sedang menunggu kakak setelah merepotkannya dengan boneka bermata suram yang terduduk di sudut ruangan.
Kakak telah memberikanku hadiah yang luar biasa.
Sebuah boneka hidup yang masih bisa kusiksa selama nafasnya masih berhembus.
Melihat hadiah kecil itu membuatku memikirkan sebuah hadiah balasan untuk Kakak, sebuah hadiah yang akan selalu ia ingat.
Suara pintu kayu jati yang terbuka. Aku tahu itu pasti kakak, meskipun aku tak dapat melihatnya dengan rak buku tinggi yang menghalangi pandanganku.
Kakak memiliki cara sendiri untuk membuka pintu kamarku, ia akan memutar grendel pintu dengan perlahan, dan tak pernah kutahu orang lain seperti Kakak yang membuka pintu dengan cara itu.
Perabotan kamarku disusun seperti sebuah labirin kecil. Sebuah labirin yang membuat orang yang masuk ke kamarku tidak bisa langsung melihat posisiku di dalam kamarku ini.
Aku sengaja menata kamarku seperti itu, agar kalau ada orang mencurigakan yang masuk kamarku, aku bisa memiliki cukup waktu mempersiapkan diri.
Selain itu di kamarku hanya ada satu jendela yang berada di atap. Jendela itu terlalu tinggi untuk dipanjat, jadi satu-satunya jalan masuk dan keluar adalah pintu kamarku.
Sebuah perangkap tikus kecil yang efektif bagi setiap orang bodoh yang mencoba masuk ke kamarku.
"Selamat malam, Phobia."
Wajah Kakak muncul dari balik salah satu rak buku, Kakak datang dengan mengenakan celana hitam panjang, dan kemeja putihnya.
Rambutnya terurai begitu saja dan terlihat masih agak basah, ia sepertinya baru saja mandi. Samar-samar aku mencium bau daun mint dari tubuhnya. Aura dingin yang menyejukkan samar-samar memasuki kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah-rumahan
TerrorIkatan yang terlarang, perasaan tidak mempercayai siapapun... Itulah yang mereka rasakan... Dunia tak pernah menerima mereka... Karena itulah mereka menolak dunia... Serial singkat tentang kakak beradik Damian dan Phobia Cerita ini diedit dan direma...