Pintu itu terkunci, akan tetapi aku tak terlalu memperdulikan hal itu. Tak apa asalkan bukan hatinya.
Aku tak mendengar suara apapun dari dalam sana. Kamar mandi rumah ini memang didesain kedap suara sehingga tak ada satupun suara yang dapat terdengar.
Kubaringkan tubuhku diatas tempat tidur Phobia. Menatap langit-langit dengan kaca jendela disana. Rembulan bersinar terang terlukis disana, mengigatkanku pada hari itu...
Selama tujuh tahun hubunganku dengan Phobia baik-baik saja... Hubungan kakak adik spesial kami yang dimulai pada hari itu. Apakah hari ini adalah akhir semuanya? Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Yang dapat kulakukan hanyalah mempertahankan hubungan kami dengan baik.
Cerita kami dimulai pada hari itu... Hari yang tak pernah Kuingat tanggal dan hari apa...
Ingatanku tentang hari itu terasa samar, Tapi, tersimpan dalam kepalaku dengan baik. Bagaikan lukisan buram yang terlukis di dinding.
Apa yang kuingat pada hari itu adalah sebuah ruang gelap, pengap, berdebu, dengan sebuah lubang di langit-langit tempat cahaya masuk. Seingatku semua yang ada di ruangan itu terbuat dari kayu. Lantai, dinding, juga perabotan disana terbuat dari kayu.
Aku tak pernah berada di luar ruangan itu. Setidaknya, aku tak pernah mengingat hal apapun yang kulakukan di luar ruangan itu. Karena bagiku, dunia di luar ruangan itu adalah neraka.
Dari dalam ruangan itu, aku sering mendengar tangisan bayi, teriakan seseorang, dan suara pukulan.
Wanita jalang, anak haram, sampah...
Semua suara teriakan itu terdengar dengan jelas. Dari dalam ruangan tempatku berada. Tetapi, tak ada yang kutakutkan di ruang gelap itu. Karena kakak perempuanku, Kak Vera ada disana bersamaku.
Namun ia tak bisa selalu ada bersamaku. Ia lebih sering keluar untuk melakukan suatu hal. Kemudian waktu malam ia akan datang, bermain bersamaku, lalu menidurkanku dalam pelukannya. Aku tak ingat sejak kapan ia melakukannya. Tapi yang kutahu, terakhir kali ia melakukannya adalah saat umurku 6 tahun.
Setiap kakak kembali, aku selalu memperhatikan satu hal. Yakni luka baru yang ia dapatkan pada tubuhnya, seriap kali Kak Vera pergi ke tempat itu.
Luka memar, luka dengan darah, dan luka bekas terbakar...
Kulit putihnya perlahan semakin rusak dan rapuh. Tapi tidak dengan wajahnya, wajahnya tetap cantik dengan mata cokelat emas dan rambut hitam panjang sepunggung.
Dalam ruangan kayu itu tidak ada kamar mandi. Jika kakak akan memandikanku, maka ia akan membukakan ikatan plastik pada salah satu pipa bocor untukku. Hanya saja, Air dari pipa itu baunya aneh. Tetapi, aku tak memperdulikannya. Karena aku tahu kakak juga mandi menggunakan air yang sama.
Aku tahu karena aku pernah melihatnya. Kakak hanya mandi setelah aku tertidur pulas karena itulah aku berpura-pura tidur untuk melihatnya.
Setiap Kak Vera pulang, ia selalu membawa makanan. Sebuah makanan sisa yang tak pernah utuh. Daging penuh belatung yang ia cuci bersih, ceceran nasi yang ia satukan dalam satu wadah, dan potongan tulang tanpa daging juga tanpa sumsum.
Semua makanan itu rasanya mengerikan dengan bau busuk yang menjijikkan. Namun, karena hanya itu makanan yang ada untuk kami. Maka mau tak mau aku terpaksa memakannya dan berusaha agar tidak muntah.
Tanpa Kakak, tempat itu mungkin bagaikan neraka. Itulah yang kupikirkan sesekali. Tapi harusnya aku tak pernah memikirkannya. Karena mungkin hal itu akan menjadi kenyataan.
Suatu hari, kakak datang... Mulutnya sobek ringan, dan darah segar membasahi gaunnya. Ia memelukku, tersenyum lemah sambil terus memelukku.
Lalu ia tertidur sangat nyenyak, bahkan ia masih tertidur sampai cahaya matahari meninggi.
Saat itulah monster itu datang. Ia berteriak, memanggil-manggil nama kakak. Ia sepertinya tak mengetahui tempat ini, sampai tangan besarnya menghantam salah satu dinding kayu, dan menghancurkannya.
Ia menatap kakak bagaikan seekor anjing lapar, ia berjalan mendekatiku bagai serigala. Perlahan membuat jantungku berdegup kencang nyaris copot. Monster itu tiba-tiba memegang kerah bajuku, menariknya lalu, melemparkan tubuhku ke dinding.
Kakak terbangun, ia mencoba lari. Tapi, Monster itu menarik kakinya, memegang perutnya, lalu merobek gaunnya. Membuat sebagian besar tubuhnya terlihat oleh mataku.
Aku tak tahu apa yang monster itu lakukan pada Kak Vera. Yang aku tahu monster itu menggoyangkan tubuh kakak berkali-kali. Ia meremas dada kakak sambil menggigit bahunya. Sementara aku hanya terdiam melihatnya.
Kakak menangis, ia terlihat kesakitan dan menderita.
Tapi aku hanya terdiam ketakutan.
Setelah monster itu puas menyakiti kakak, ia melepaskan kakak, setelah puas menendangnya dan menjambak rambutnya. Kemudian ia mendekatiku, memukulku, menendangku lalu melemparkanku ke dinding.
Memperlakukanku seakan aku adalah mainan rusak.
Monster itu tertawa... Terus berteriak dan mengatakan kata yang tak kupahami seperti "Tidak mirip" dan "Perempuan Jalang"
Waktu itu aku terlalu lelah. Kulihat kakak menangis di sudut ruangan. Aku ingin menghapus air matanya. Tapi, aku tak tahan merasakan rasa sakit yang kini kualami. Akhirnya, kupejamkan mataku. Tetesan air mata mengalir dengan deras.
Kalau saja aku bukan anak kecil, Kak Vera takkan menderita
Malam itu, aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Kalau saja waktu itu aku bisa melawan rasa sakitku dan membiarkan mataku tetap terjaga...
Mungkin aku bisa membuat monster itu berhenti menyakiti kakak.
Sebuah tangan menyeret kakiku, lalu tubuhku terhempas pada dinding kayu lapuk.
Mataku terbuka, serpihan kayu membuat pandanganku kabur. Tangan itu kembali datang. Memegang kerah bajuku lalu memukulku berkali-kali dan membiarkan aku muntah di lantai.
Setelah ia selesai denganku, ia mendekati Kak Vera lagi. Melakukan hal yang sama lagi. Kali ini aku mencoba menyerangnya. Tapi, ia melemparkanku kembali dengan mudah.
Aku melihat orang itu melakukan hal yang mengerikan pada kakak lagi. Tapi, kali ini kakak hanya diam bagaikan sebuah boneka.
Kejadian yang terulang. Tapi dengan akhir yang berbeda...
Setelah monster itu pergi, kudekati kakak. Kucoba membangunkannya. Tapi ia tak bergerak. Tubuhnya dingin sedingin es. Kakak hanya diam. Lalu, tersungkur di lantai tanpa bergerak sedikitpun.
Saat itu aku tak mengerti apa yang terjadi pada kakak. Yang kutahu, aku merasa takut, aku takut kalau Kak Vera pergi meninggalkanku.
Waktu itu yang bisa kulakukan hanya memeluknya. Lalu kupejamkan mataku. Berharap semua mimpi buruk ini akan berakhir saat aku terbangun besok...
"Ivan..."
Mataku terbuka...
Cahaya rembulan menerangi wajahku. Waktu itu aku masih menggunakan nama lamaku. Nama yang mungkin merupakan pemberian Kak Vera. Aku terbangun, sesosok makhluk berambut panjang membangunkanku. Sosok itu adalah Kak Vera. Ia merangkak mendekatiku, sorot matanya berwarna merah semerah saga.
"Kakak..."
Aku berseru lirih. Kak Vera memelukku, mencoba mengobati luka-lukaku dengan pelukannya.
"Ivan tidak ingin merasakan rasa sakit lagi bukan?"
Aku menggeleng...
"Ivan tidak ingin menderita lagi bukan?"
Aku menggeleng lebih keras...
Kak Vera tersenyum, saat itu aku merasa ada yang berbeda dengan senyumannya, senyumannya membuatku sedikit takut. Ia lalu mencium bibirku, mencuri ciuman pertamaku bahkan sebelum aku tahu ciuman itu apa.
Ciuman pertamaku terasa dingin, bibir kakak terasa dingin dan pucat. Setelah ciuman itu mendarat di bibirku, aku tak merasakan rasa sakit apapun. Tubuhku merasa lebih hangat daripada sebelumnya. Namun bukan hanya itu saja, aku seperti merasakan sesuatu yang tak beres denganku. Rasanya seperti aku kehilangan akal sehatku, dan sebuah keinginan membunuh. Muncul begitu saja pada diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah-rumahan
KorkuIkatan yang terlarang, perasaan tidak mempercayai siapapun... Itulah yang mereka rasakan... Dunia tak pernah menerima mereka... Karena itulah mereka menolak dunia... Serial singkat tentang kakak beradik Damian dan Phobia Cerita ini diedit dan direma...