2. Bangkok Glass

3.4K 137 8
                                    


"Hei, bangun, Shone! mobil jemputannya sudah datang tuh!" teriak ayah Shone sambil mengetuk pintu kamarnya. Shone bangun dengan kaget dan langsung duduk dengan tegak. Ia melihat jam yang menunjukkan pukul 5 pagi.

"Ini kan masih jam 5!" sahut Shone dari dalam kamar.

"Iya, kita harus cepat-cepat pergi, pesawatnya kan berangkat jam 7!"

Shone terbelalak dan menyadari betapa sempit waktu yang ia miliki untuk sampai tepat waktu ke bandara. Ia lompat dari tempat tidurnya, bergegas keluar kamar dan menemukan kopernya sudah dipak rapi.

Ia terdiam memandangi koper yang sudah rapi tersebut. "Kayanya semalam aku engga merapikan koper ini", pikir Shone dalam hati.

Seperti bisa membaca pikiran Shone, Ibu Shone menyahut, "Ibu yang membereskannya. Sekarang cepat mandi dan kita berangkat".

Pontang panting Shone bersiap-siap. Mandi, berpakaian, dan segala macamnya hanya dilakukan dalam kurun waktu 15 menit. Sambil masih terengah-engah, ia masuk dan duduk di dalam mobil, ia berpikir betapa anehnya hari ini. Kemarin ia baru saja terpukul karena harus menyakiti hati perempuan yang sudah lama ia sukai dan sekarang ia harus pergi jauh dari rumah, tanpa punya kesempatan untuk melihat wajah perempuan itu lagi.

"Nam.." Ujar Shone dalam hati seraya mencondongkan pandangannya ke kota tempat ia tinggal lewat jendela pesawat terbang. Makin lama pemandangan kota itu makin kecil hingga tidak terlihat lagi. Seandainya saja semudah itu melupakan perasaan kepada seseorang. Ia sedikit menyesal karena tidak mencabut satu saja foto Nam dari scrapbook yang ditinggalkannya di depan pintu rumah Nam. Sekarang ia pergi ke Bangkok tanpa membawa sesuatu apapun yang dapat mengingatkannya akan wajah Nam kecuali memori dari dalam kepalanya.

Shone mencoba untuk berbesar hati dengan berkata pada dirinya sendiri bahwa Nam terlalu muda untuknya. Ia akan segera mulai kuliah sementara Nam baru saja akan menjadi siswi SMA. Nam terlalu muda untukku. Terus saja Shone mengatakan itu untuk mengobati kesedihan hatinya. Namun, hatinya juga sering berkata, aku pasti tidak akan berpikir bahwa Nam terlalu muda untukku di 5 tahun atau 10 tahun yang akan datang.

"Argh!" tanpa sadar Shone mengeluarkan erangan kesal. Bukan dari dalam hatinya.

"Kamu engga apa-apa?" tanya seorang kakek-kakek yang duduk di sampingnya.

"Uh-uh. Tidak apa-apa, Kek. Maafkan saya sudah mengganggu" pinta Shone sambil tersenyum ramah.

***

Sesampainya di Bangkok, Shone dipertemukan dengan jadwal yang sangat padat sebagai pemain di Bangkok Glass. Bangkok Glass sendiri adalah klub sepakbola di liga Thailand yang pada saat ini menduduki posisi ke 3 di klasemen. Shone ditempatkan pada posisi depan untuk menyerang. Latihan diadakan hampir setiap hari dan itu membantu Shone untuk sedikit melupakan mengenai kisah cintanya yang kandas beberapa bulan lalu.

Selain bermain sepak bola di Bangkok Glass, Shone juga tercatat sebagai mahasiswa di Chulalongkorn University dengan jurusan Digital Art, khususnya di bidang fotografi.

Di balik semua kesibukannya, Shone menyimpan rasa bersalah kepada Pin. Ia belum pernah lagi menghubungi Pin semenjak hari kelulusan. Ia bahkan tidak mengabari Pin kalau ia sekarang sudah pindah ke Bangkok.

Shone hampir saja memencet nama Pin pada telpon genggamnya, sebelum ia memutuskan untuk menelepon Top.

"Hai, Top!" Sapa Shone lewat telepon genggamnya.

"Shone! Kata Ayahmu kau sekarang ada di Bangkok! Benar?" tanya Top tanpa bisa menunggu.

"Ah.. Iya, segalanya berjalan cepat sekali sampai-sampai aku tidak bisa memberi kabar ke siapapun. tapi sekarang aku mengabari kau kan" jawab Shone.

Crazy Little Thing Called Love: Upcoming YearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang