Pernah kubisikkan di sore yang tidak ramah pada kita, kita biarkan kopi menjadi dingin di gelas hitam itu, gerimis pun iba pada air mata di tepi pisah.
Bisu mengadu, beku, kopi itu membeku, hati itu kelu. Lagu itu menjadi syahdu. Karena ku jatuh cinta pada caramu menerjemahkan luka.
Sebuah bayang menari dan terjatuh pada secangkir kopi senja. Kau goreskan syair luka pada sebuah gelas kopi lalu kau hempaskan pada senja hingga pecah berkeping.
Kuselipkan rembulan pada lembaran-lembaran catatan harianku, karena malam yang berlalu masih menyimpan janji yang tertunda. Sebait puisi tentang seseorang yang duduk di bawah sinar rembulan yang menghilang dalam remang gelap.
Besok akan kukembalikan rembulan dengan beberapa sketsa tentangmu agar kau tahu sore berikutnya aku masih terduduk di awan menunggu janji itu, menunggu lamunan itu selesai agar lembar terakhir buku harian itu tergores. Aku menunggu .
-Kopi sore, tetap pahit-
Aku tidak pernah membencimu luka, maaf bila syair yang kugoreskan lewat angin timur membuat sendu, tapi engkau tahu luka itu memberi lembayung di sisiku.
Kita berdua tahu, kau sang kopi sore dan aku lembayung senja. Bila aku tak lagi bergantung di matamu, maka sore esok kau hanya akan menjadi ampas.
Tapi aku tetaplah senja. Aku hanya penambah nikmat indah bagi hati syahdu yang slalu merindu luka di setiap sore yang mampu aku datangi. Tidak perlu berduka,katamu. engkau tetap indah tanpaku.
Bila di hari esok kau berhati syahdu terduduk di serambi, semoga kau sempatkan melihat sore hadir menyapa kopi yang mulai dingin.
Kau tertunduk lesu karena malam mencuri senjamu. Lembayungmu telah disiram amat hitam, pekat menjalar tak menyisakan ruang warna.
-Lembayung senja di secangkir kopi-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak-Sajak Yang Perlahan Tanggal
Poésiedan jarak mencipta sajak. dan rindu membelenggu kamu.