END/3 : Akhir Rasa? (Revisi)

6.2K 443 119
                                    

Seperti janjinya kemarin, Edgar mengajakku ke kedai es krim kesukaanku. Meski terpaksa, aku tidak mau terlihat sedih di hari bahagianya. Bukan ulang tahun, tetapi perayaan keberhasilan. Munafik? Memang. Aku bingung harus bersikap seperti apa. Saat ini aku sangat menyerupai mayat hidup saja.

Seperti yang kalian kira, Disti memberikan anggukan kepalanya saat pemuda itu menembaknya. Aku hanya diam, sesekali tertawa kecil ketika Edgar menceritakan setiap persiapan sampai adegan penembakan. Bagaimana ia gugup, bagaimana ia takut akan jawaban Disti, dan bagaimana ia bahagia setelah itu. Aku iri pada gadis itu. Aku ingin berada di posisinya, menerima setiap perlakuan manis yang di berikan Edgar layaknya sepasang kekasih—bukan sahabat. Perhatiannya, senyumnya, aku ingin memiliki itu. Sayangnya, takdir memang tidak mempersilahkanku untuk bersatu dengan Edgar.

"Es krimnya enggak enak, ya? Biasanya lo lahap makannya, sampai nambah lagi," kata Edgar di depanku.

Kami sudah duduk selama 15 menit di dalam kedai, tetapi es krimku hanya ku aduk-aduk saja tanpa minat. "Enak, kok. Lagi kenyang aja."

"Tumben? Kenapa? Ada masalah?"

Tentu saja, aku sedang ada masalah. Masalah hati lebih tepatnya. Bagaimana bisa aku mengatakannya pada Edgar? Orang yang selama ini menjadi permasalahan diriku. Andai semua terasa mudah, andai menghapus rasa segampang menghapus jejak pensil di atas kertas, andai perasaan ini tidak tumbuh, aku masih bisa menatap Edgar tanpa ada rasa sakit sedikit pun. Tapi, apa yang terjadi? Aku sudah melewati batas. Harusnya aku tidak bermain-main dengan cinta kalau pada akhirnya aku tak bisa melupakannya.

"Gar."

"Iya? Cerita aja, Gis," katanya sembari menatapku. Mau tidak mau aku menundukan kepala untuk memutuskan kontak mata kami.

"Gue lagi jatuh cinta."

Aku memandang langit kelam dari balik jendela. Biarlah dia tahu semuanya secara tak tersirat. Aku tak bisa lagi menyembunyikan ini semua. Biarlah aku jujur pada diriku sendiri, perasaanku, dan ... Edgar.

"Serius? Kenapa enggak pernah cerita, sih? Gila! Siapa orangnya?" tanya Edgar dengan heboh, aku hanya tersenyum kecil.

"Lo enggak perlu tahu, biar gue dan Tuhan yang tahu," kataku terkekeh pelan. Edgar di depanku mencibir, namun tak melanjutkan rasa penasarannya.

Lagi, senyum itu terkembang untuk hujan yang mengguyur saat ini. Dia masih bahagia, atau dia akan selalu bahagia. Aku berusaha untuk kuat sepertinya, tetapi ... entahlah, aku lebih lemah dari hujan.

"Udah lama, Gar. Dia selalu nganggap gue ini adiknya yang harus selalu dilindungi, gue nyaman, tapi lama-lama gue pengin lebih. Bukan sekedar adik, karena gue udah terlanjur cinta sama dia."

Kupalingkan wajahku untuk menatap Edgar, aku penasaran dengan eskpresi yang ditunjukannya. Di depanku, dia mematung. Ada kernyitan samar terpetak di dahinya. Iya, dia pernah berkata seperti itu padaku, bahwa aku ini sudah seperti adiknya yang harus dia jaga. Hatiku semakin nyeri saja. Edgar ingin menjagaku, tetapi kini ada Disti, kalian pikir siapa yang akan diutamakan? Aku? Jelas bukan.

"Gue tahu, cinta gue enggak akan dibalas sama dia. Ternyata, dia suka sama cewek lain, yang lebih cantik, lebih baik, pokoknya lebih-lebihlah kalau dibandingin sama gue yang enggak ada apa-apanya ini. Gak masalah, gue selalu bertahan, gue mencoba mengejar meskipun dia lagi ngejar hati lain."

Rintik air semakin deras, embunnya memenuhi jendela. Kedua tanganku terpaut di bawah meja, meremasnya kuat-kuat, menjadi pelampiasan emosiku. Edgar masih tak bicara, entahlah apa yang dia pikirkan tentangku saat ini, aku tak peduli.

"Perasaan gue campur aduk pas tahu dia mau nembak cewek pujaannya, dan itu juga alasan kenapa dia enggak bisa bareng gue. Hati gue kaya dijambak, ditusuk, dipelintir, sakitnya gak terdefiniskan. Yang gue tahu, udah enggak ada harapan lagi, dan bertahannya gue, berjuangnya gue, sia-sia semua," kataku tertawa lirih, seolah mengejek diriku sendiri.

Aku menarik napas berulang kali, meredakan sesak yang semakin memenuhi dada. "Gue enggak tahu harus gimana. Melupakan? Dia terlalu sulit untuk gue hapus dari memori otak gue. Bertahan? Gue enggak sekuat hujan, gue terlalu lemah, tapi hati gue meminta untuk tinggal lebih lama. Gue tersiksa, Gar. Apa yang harus gue lakukan?"

Pecah sudah tangisanku. Mungkin kalian akan mengira bahwa aku ini cengeng, lebay, alay, terserah. Yang pasti, kalau kalian pernah mencintai orang sedalam perasaanku pada Edgar, lalu orang yang kita cinta ternyata tidak memilih kita yang selama ini selalu berada di sampingnya, apa kabar hati kalian? Sakit kan? Pengin nangis kan? Nah, sama juga sepertiku.

"Gis, gue—"

Kepalaku menggeleng lemah, dengan tangan gemetar aku menghapus air mataku yang tak mau berhenti. "Dari awal, gue yang salah. Harusnya gue bisa jaga kata 'sahabat' itu, tapi gue melangkah jauh dari batas yang sewajarnya hingga sampai di titik terlarang. Maafin gue yang udah ngerusak persahabatan ini, Gar. Ini salah gue."

"GISMA!"

Aku menembus hujan yang semakin deras, angin bertiup kencang, awan semakin pekat. Aku hanya ingin pulang dan menangis di bawah selimut saat ini, menumpahkan segala keresahan hatiku. Persahabatanku dan Edgar yang sudah terjalin lama pasti akan renggang, hanya karena perasaanku. Oh, Gisma! Kamu memang bodoh! Bodoh!

"Hujan," lirihku. Tubuhku bergetar hebat, aku duduk meringkuk di sebuah halte bus yang sepi. Kepalaku mendongak menatap awan-awan mendung dengan air mata yang masih membanjiri wajah.

Hujan, aku gagal. Aku tidak sepertimu yang kuat. Apa yang harus aku lakukan? Kalau boleh jujur, hatiku masih sangat mencintainya. Tapi, apakah rasa itu pantas untuk di perjuangkan lagi? Apa gunanya bila hanya memperkeruh keadaan?

Hujan, apa aku berlari saja sampai perasaanku dibawa oleh angin kencangmu? Atau tetap bertahan, meluruh jatuh padanya yang tak mencintaiku?

Sekali lagi hujan, aku harus bagaimana?

-Man.


P.S:

RA(I)N terdiri dari kata RAN dan RAIN. Seperti kata-kata terakhir, judul ini ada dua makna. Berlari atau meluruh jatuh seperti hujan. Itu alasannya kenapa huruf I aku kurung :)


RA(I)N [3/3 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang