P1

57.9K 1.7K 22
                                    


Indria melangkahkan kakinya menuju kamar. Lalu , memutar knop pintu dengan hati-hati. Dia berjalan ke arah jendela lalu membuka gorden. Setelah itu, Indria naik ke atas tempat tidur dan menyibakkan selimut secara perlahan. Tampak seorang pria seumuran dengannya tengah tertidur begitu lelap. Indria berniat membangunkan pria yang merupakan suaminya itu, tetapi dia tak tega.

"Kenapa aku enggak dibangunin?" Pria itu membuka kedua matanya kemudian menatap Indria, sang istri.

"Kamu kelihatan sangat lelah," jawab Indria pelan seraya balas memandang pria itu dengan keteduhan di matanya.

"Benarkah? Aku kemarin lembur sampai jam dua pagi."

"Kamu baru pulang, ehm?" tanya pria itu sambil menyunggingkan senyum hangat. Dia membelai rambut istrinya penuh kasih.

Indria menganggukkan kepala dan tersenyum. "Iya. Aku baru saja sampai Raka," jawabnya dengan suara lembut.

"Kenapa kamu tidak meneleponku? Aku akan menjemputmu di bandara." tanya pria bernama Raka pada Indria. Dia mengambil posisi duduk bersila di hadapan sang istri.

"Aku tahu kamu lelah jadi aku malas meneleponmu. Lagipula, Nadya bersedia mengantarku pulang tadi," jelas wanita itu tak ingin merepotkan.

"Kalau begitu tidurlah lagi. Kamu tampaknya benar-benar kelelahan," ucap Indria seraya hendak beranjak turun dari tempat tidur. Namun, Raka menarik tangannya.

"Kenapa kamu menarik tanganku?" tanya Indria dengan tatapan heran. Kini posisinya tengah berhadapan dengan Raka dalam posisi cukup dekat.

Pria itu menyunggingkan senyum menawannya. "Aku merindukanmu tahu. Kamu meninggalkanku hampir dua minggu." Raka menarik Indria ke dalam pelukannya. Dia sungguh merindukan sahabat sekaligus wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu.

Indria harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan kantor dan baru kembali hari ini. Rasa rindu karena hampir dua minggu tak bertemu menyeruak begitu saja.

"Aish, kamu manja sekali Raka. Aku jadi ingin muntah," ejek Indria tak berperasaan. Namun,ntetap membalas pelukan pria itu.

Sedetik kemudian, Raka melepas dekapannya. "Nanti saja kamu muntah-muntah saat mengandung anak kedua kita," goda pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Aishh...," dengus Indria pelan.

"Anak Ayah apa kabar? Sehat selalu ya, Nak." Raka mengajak anak dalam kandungan Indria. Kini kehamilan Indria berusia tujuh bulan. Bayi dalam kandungan sang istri bukanlah anak biologisnya, namun Raka menyayangi anak tersebut seperti buah hatinya sendiri.

"Ibumu galak sekali pada Ayah, Nak." Raka berbicara seolah mengadu pada anak dalam rahim Indria.

Jujur, dia merasa sangat beruntung serta bersyukur memiliki Raka sebagai suami dan juga sahabatnya. Pernikahan antara Indria dan Raka bukalah suatu pernikahan yang berdasarkan 'cinta'. Pernikahan ini terjadi karena hanya 'rasa kasihan' mungkin, menurut Indria.

Karena sebuah insiden, Indria harus mengandung sebelum waktunya yakni pranikah. Dia sempat frustrasi dan berniat menggugurkan kandungannya. Namun, Raka menawarkan diri untuk menikahi Indria. Tentu wanita itu menolak. Tapi bukan Raka namanya jika ia tak berhasil meyakinkan Indria untuk bersedia menikah dengannya.

"Aish, cepat tidurlah! Wajahmu pucat Raka," suruh wanita itu. Tanpa diduga Raka menarik tangan Indria kembali hingga posisi mereka berbaring di atas kasur.

"Temani aku tidur. Anggap saja ini hukuman akibat kamu membuatku terbangun." Raka memeluk Indria untuk kedua kalinya. Dia juga bingung akan makna pelukan yang dilakukannya ini.

Your Baby, Not His SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang