Seorang gadis berpakaian formal terlihat melenggang menyusuri koridor bagian staf administrasi. Beberapa pegawai menoleh ke arahnya dengan tatapan aneh. Paras cantik, pakaian trendi, dan make up tipis itu terlihat sesuai dengan wajahnya yang terlihat seperti berusia sekitar tujuh belas tahun itu.
Tapi hanya sebentar. Sedetik kemudian, semua berjalan normal. Tak ada yang mempedulikan. Tak ada yang bertanya siapa dirinya. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tak menyadari kejadian menggemparkan yang akan mengguncang gedung perkantoran itu sepuluh menit lagi.
Gadis itu melirik jam tangan Gucci yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, kemudian mulai menghitung mundur. Bersiap melakukan tugas yang sebenarnya sangat dibencinya. Tak ada pilihan lain baginya. Jalan kembali telah ditutup. Dan yang bisa dia lakukan hanyalah tetap maju sesuai dengan perintah yang diberikan.
Manager Administration
Gadis itu membuka pintunya perlahan. Menatap seorang pria paruh baya yang sedang sibuk melakukan sesuatu di laptopnya. Dia juga tak terlalu memperhatikan gadis tak dikenal itu. Matanya hanya melirik sebentar, kemudian kembali terfokus pada layar di depannya.
"Apa aku mengenalmu?" Tanya pria itu. Merasa terganggu walau dirinya terkesan tak peduli.
Gadis itu menyunggingkan senyum licik. Lalu berjalan ke arah jendela dengan langkah yang dilambatkan. Tak berpaling sedikitpun dari si pria yang kini mulai menghentikan pekerjaanya, dan duduk bersandar di kursinya yang empuk.
Dengan sekali pukul, jendela ruang kerja yang terletak di lantai enam belas ini pecah. Pria itu terkejut dan tersentak ke belakang. Ingin berteriak, tapi dia sendiri yang memasang peredam suara pada ruang kerjanya. Ia sendiri yang melarang pemasangan sisi TV di ruang kerjanya. Ingin menekan tombol bel yang biasanya diperuntukkan khusus untuk memanggil sekretarisnya, tapi terlalu takut.
Entah apa yang ada dalam diri gadis muda itu hingga membuatnya ketakutan. Mulutnya terkunci dan ototnya menegang. Tak mampu bergerak sedikitpun. Seakan dirinya memang diikat oleh sesuatu tak kasat mata pada kursi yang didudukinya.
Senyum yang terpancar pada wajah gadis itu telah menghilang. Digantikan dengan ekspresi datar yang terlihat lebih menakutkan dari sebelumnya. Tangannya yang halus terulur mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Tas Louis Vuitton putih bermotif kotak-kotak.
"Surprise!" Katanya tanpa nada bersemangat yang seharusnya diberikan saat memberi kejutan.
Pria itu mendadak pucat. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningnya. Perlahan dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Berharap sang gadis tahu bahwa ia menyerah. Berharap sang gadis yang tak dikenalnya itu sudi menurunkan pistol yang diacungkan dalam jarak tiga meter di hadapannya. Dia tahu harapannya sia-sia saat kakinya melemas dan lututnya bergetar hebat.
Hanya perlu menghitung sepuluh detik. Kemudian semua berubah gelap. Peluru itu menembus tepat di jantungnya tanpa seorang pun di luar sana tahu.
Dengan cepat gadis itu mengeluarkan tali tipis dari dalam tasnya. Kemudian tanpa menghiraukan pria yang sekarat di tempatnya itu, ia mulai melilitkan tali itu melingkari perutnya. Mengaitkan salah satu ujungnya pada sebuah tiang lalu menarik napas panjang.
Tanpa aba-aba, gadis itu berlari menuju jendela yang pecah tadi. Dan tanpa disangka pula, melompat keluar darinya.
**
"Oh God! Dad! Aku tidak mengenalnya. Lagipula kau telah berjanji aku hanya bertemu dengannya. Bisa-bisanya kau menyuruhku menikah dengan lelaki norak semacam Justin."
"At least, you know his name!" Kata Dad tak mau kalah.
Dad memang keterlaluan. Berani-beraninya dia menjodohkanku seperti itu. Dengan lelaki sangar dengan tampilan goth yang norak bernama Justin Bieber. Bukannya aku tak mengenalnya. Kami sekelas di kelas Bahasa Spanyol dan tak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Aku bukan penakut. Aku hanya tak ingin mencari keributan dengan si Bieber yang aneh itu.