**
Aku terbangun tiba-tiba dan mendapati Justin menutup mata di sebelahku dengan tenang. Tangannya yang hangat menggenggam tanganku dan aku tahu dia belum melepaskannya semenjak kami tertidur.
Ah! Suasana ini malah membuatku tak bisa tidur. Tak kusangka, wajahnya yang tentram saat tertidur itu membuatku ketagihan memandanginya. Perlahan, aku membelai wajahnya yang putih. Merasakan setiap sentuhan itu sampai ke dalam pembuluh darahku. Mengalir bersamanya.
Thanks God! Atas keadaan yang telah berbalik ini. Aku berjanji akan menjaganya. Aku berjanji akan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Apalagi dengan bertambahnya satu orang keluarga kami.
Srett!
Sial! Apa itu? Tiba-tiba perasaanku tak enak. Aku memang baru melihatnya melintasi jendela pondok yang berhadapan dengan ranjang. Tapi aku yakin, sejak tadi bayangan itu memperhatikanku. Seorang ninja kah?
Dengan gerakan halus, aku melepaskan tangan Justin. Memakai sandal empuk yang disediakan pihak hotel, kemudian mengendap tanpa suara menuju pintu.
Hawa dingin kota ini menusuk tulangku. Dengan cepat aku merapatkan kembali mantel tebal yang kupakai. Membuka pintu pondok perlahan sembari membetulkan posisi senjata yang tadi sempat kuselipkan di balik mantel.
"Hai!" Seru gulungan hitam yang tiba-tiba muncul dengan posisi terbalik di depanku.
Dengan kaget, aku melangkah mundur. Hampir saja berteriak dan membangunkan Justin. Tapi rasanya tindakan itu konyol. Aku Cleopatra. Aku tak takut pada apapun.
"Dylan! Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku mendesis. Jelas dengan nada yang hampir berupa bisikan.
Dylan melompat bersalto di udara. Kemudian berdiri persis di hadapanku. Dia membuka topeng hitam yang membungkus kepalanya dan tersenyum jahil padaku.
"Bagaimana kau tahu?"
Aku tersenyum mengejek. "Aku mengenali suara dan gerak-gerikmu. Lagipula hanya kau yang berani bermain-main dengan Cleopatra." Kataku. Mulai bersikap rileks pada senjata yang masih kupegang.
"Well, kukira di sini siang hari. Ternyata tengah malam. Apa aku mengganggumu?" Tanya Dylan. Nada bicaranya berubah serius. Namun tak mengurangi ekspresi canda di mukanya.
"Sangat. Tapi ada untungnya juga kau kemari. Aku ingin mengajakmu bertarung."
Dylan merengut heran. "Apa Justin membolehkanmu? Ah! Dia bisa mencincangku nanti." Kata Dylan.
"Terserah. Tapi tanganku gatal. Dia melarangku melakukan apapun. Dia membuatku bosan." Aku menarik kunai dari dalam saku piyamaku. Melemparkannya cepat ke arah Dylan. Jangan menyebutnya Akhenaten kalau dia tak bisa menghindar.
Dylan tersenyum. "Well, dia sedang jatuh cinta. Dia bisa mengalahkanku demi kau." Katanya. Dia mengeluarkan pedang samurai dan mengacungkannya padaku.
"Ah! Kau ini berpakaian seperti apa?" Tanyaku heran. Dia berjalan mundur mengiringku ke lapang yang cukup luas. Suasananya mirip hutan kecil karena ditumbuhi beberapa mahoni yang besar.
"Entahlah, ninja?" Dia mulai mengayunkan samurainya ke bahu kananku. Aku menunduk.
"Kau mengenakan kostum ninja, tapi menggunakan samurai? Aku tak pernah menemui hal yang lebih konyol daripada ini."
Aku mengeluarkan kunai lagi. Denting samurai dengan kunaiku cukup keras. Tapi aku yakin tak seorangpun akan mendengarnya. Cukup lama. Aku sempat membuat pakaiannya robek di bagian perut. Bagus. Dia sama sekali belum mampu menyentuhku.