Kuparkir mobil Zizi asal. Sedikit merepet dengan mobil lain. Aku tidak bermaksud mencari gara-gara dengan Zizi karena Audi R8 ini kesayangannya. Tapi aku merasa aku harus menjaga jarak dengan wanita yang kini menjadi istriku itu.
"Caitlin!" Seruku saat melihat gadis yang kucintai berjalan melewatiku. Tangan kanannya digenggam seorang lelaki yang kini tak lagi kuakui sebagai sahabat.
"Hei, Justin! Selamat atas pernikahanmu. Aku benar-benar tak menyangka kau menikah secepat ini. Rasanya baru kemarin. . ."
"Benar! Rasanya baru kemarin aku mengajakmu berkencan." Kataku memotong perkataan Caitlin. Tak mempedulikan kekasihnya yang menatapku tajam.
Caitlin terlihat salah tingkah. Bola matanya melirik Ryan gelisah. "Maaf Justin. Tapi kumohon, itu hanya masa lalu. Aku duluan." Ucapnya kemudian menarik tangan Ryan pergi.
Damn! Dengan kesal, kupukul kap mobil keras. Perihnya tak sebanding dengan rasa sakit saat Caitlin meninggalkanku barusan.
Aku memang bodoh. Padahal aku telah menikah dengan seorang gadis cantik dari keluarga terpandang. Tapi tetap saja rasanya hatiku tak bisa meninggalkan Caitlin meskipun ia telah memilih lelaki lain.
**
Kubalik lembar demi lembar koran sekolah minggu ini. Berita pernikahanku yang memuakkan telah tersebar dan membuatku benci. Berita pembunuhan yang terjadi di sela-sela resepsi pernikahanku juga ada.
Dengan cermat, kubaca setiap kata yang tertera di sana. Walaupun aku adalah salah satu saksi mata kejadian itu, tapi aku merasa benar-benar buta dan tak tahu apa-apa soal itu.
'. . . Tidak ada tanda-tanda bahwa Cleopatralah pelakunya. Tapi besar kemungkinan, pembunuh berdarah dingin itu adalah rekan sang Ratu Mesir Kuno tersebut. Seorang lain yang disebut Akhenaten. Meskipun Cleopatra sepertinya tidak turut andil dalam pembunuhan ini, pihak CIA masih terus melacak keberadaannya yang misterius.
Seperti yang telah diketahui, Cleopatra adalah pembunuh bayaran terbaik abad ini. Berkali-kali pihak CIA dan FBI mendapat keterangan tentangnya, tapi seluruh keterangan itu tak dapat dibuktikan kebenarannya. Leon Panetta selaku direktur CIA mengatakan, Cleopatra mungkin hanyalah seorang gadis remaja pada umumnya. . .'
Aku mengagumi Cleopatra. Lebih dari itu, aku memujanya. Kalau memang seperti yang dikatakan bahwa dia kemungkinan hanya gadis remaja biasa, berarti dia gadis terhebat yang kutahu.
Bukan karena statusnya sebagai orang paling dicari di dunia, tapi karena dia gadis yang pintar, kuat, dan tangguh. Dan meskipun aku belum pernah melihatnya, aku yakin dia juga cantik seperti Ratu Mesir yang sebenarnya. Oke! Pendapat konyol!
Seringkali tersiar kabar bahwa Cleopatra hampir tertangkap. Tapi tak pernah sekalipun kabar-kabar itu terbukti. Gadis itu selalu bisa menghilang seperti kabut.
Sudut mataku menangkap seorang gadis berjalan menuju tempatku. Dan duduk begitu saja di hadapanku. Holy Cow! Apa aku tak bisa sebentar saja tanpa bersamanya?
"Justin, apa kau tak makan apa-apa?" Kata Zizi saat dia melihat tak satupun makanan ada di depanku. Tangannya membawa nampan berisi sepiring sandwich dan sekaleng Pepsi.
"Sedang apa kau di sini?"
Zizi mengangkat bahu sembari mencoba membuka kaleng sodanya.
"Aku tak menemukan tempat kosong lain." Katanya sambil meneguk sedikit Pepsi itu.
"Dan apa itu membuatmu merasa bahwa kau boleh duduk di dekatku?"
*Ziana POV*
Itu tidak membuatku merasa bahwa aku boleh duduk di dekatnya. Aku tahu itu. Tapi aku bukan gadis cengeng yang mudah menyerah. Aku gadis yang akan melakukan apapun untuk mencapai tujuanku.
Hal lain yang aku tahu pasti, berada di dekatnya membuatku merasa tenang dan aman. Aku tak berharap dia tahu. Hanya berada di dekatnya, sudah cukup.
"Tidak. Tapi aku ingin duduk di sini. Sebentar saja. Kalau kau tak suka, jangan pedulikan aku."
"Aku memang tidak pernah berniat mempedulikanmu."
Hening. Justin masih sibuk dengan koran sekolahnya. Dan aku melahap sandwichku tanpa bersemangat. Sesekali melirik Justin untuk memastikan dia masih duduk di sana dan membuatku tenang.
Seorang lelaki berkacamata tebal meletakkan nampannya di dekatku. Dylan. Aku mengenalnya sejak kami masih sama-sama berada di Junior High School. Tampangnya sangat nerd dan membosankan.
Tapi dibalik semua itu, aku tahu benar siapa dirinya. Sang Akhenaten. Kau pasti bertanya kenapa penyaraman kami setolol itu. Sama sekali tak kreatif, menilik kami adalah pembunuh paling kreatif di dunia.
Kami selalu menggunakan cara berbeda setiap kali kami bertugas. Dan itu membuat korban-korban kami ketakutan karena hanya mempu menebak-nebak bagaimana cara mereka dibunuh nanti.
"Hai Dylan." Kataku pelan. Menatap barisan giginya yang dihiasi kawat gigi palsu. Dan meskipun dia berusaha tampil senormal mungkin, tapi sungguh! Aku tidak terlalu menyukai penampilannya yang norak itu. Menjadi normal tidak harus berpakaian udik seperti itu.
"Kau tak apa? Kau terlihat resah." Jawab Dylan sepelan suaraku tadi.
"Oh? Bisakah kau melonggarkan sedikit kerah lehermu itu? Kau membuatku semakin resah."
Dylan membuka kancing teratas kemejanya, kemudian melonggarkan kerah seperti yang kusarankan tadi.
"Maaf. Aku juga merasa gerah."
"Ini, minumlah! Kau membutuhkan minuman lain selain limun!" Kataku sambil menyerahkan kaleng Pepsi yang tinggal separuh padanya.
"Sudah menjadi imageku. Mereka tahu aku tak menyukai soda. Jadi, ada apa?"
"Tidak ada. Tapi kuberitahu satu hal. Aku jatuh cinta." Seruku tertahan.
"W O W! Lihatlah! Sang ratu kini telah takluk di hadapan Mark Anthony-nya!" Ucap Dylan sambil menyenggol lenganku bercanda.
"Psstt! Dia tak tahu."
"Kenapa tak bilang saja padanya Cleopatra! Dia suamimu!"
Klik. Aku ingin sekali mengatakannya. Tapi bahkan Cleopatra pun tunduk pada kekasihnya. Siapa yang mengira seorang pembunuh berdarah dingin tidak mempunyai sedikit pun keberanian untuk menyatakan perasaannya. Tapi hei! Aku wanita! Bukan aku yang memulai duluan.
. . .