Radelta - Tiga

27 1 0
                                    

"Lo ngapain masih dikelas? Sembunyi dari gue?" Vardo berjalan pelan ke mejanya adel, sedangkan si empunya hanya terdiam menatap Vardo datar sesekali menggerutu pelan. Kelasnya saat ini sedang kosong karena bel pulang sudah berbunyi sejak 20 menit yang lalu.

"Perut gue sakit, gue gak bisa nemenin Lo seleksi kayanya"Adel masih memasang wajah datar lalu memegang perutnya.

Vardo mendecak "yaudah gue anter pulang, buruan"

"Ah do gue bisa pulang sendiri kok, entar lo terlambat ikut seleksi lohh"adel mengakhiri perkataannya dengan senyum lebar

"Gue anterin udah cepet"Vardo menarik tangan adel yang langsung ditepis secara langsung oleh adel.

"Gue bisa pulang sendiri. Lo seleksi aja sana!" masih duduk ditempat adel mendorong-dorong Vardo walaupun hanya bergeser beberapa centi saja.

"Lo kenapa sih. Ohh atau mau gue gendong sampe parkiran"Adel mendelik ke arah Vardo. Si bodoh itu tidak akan menyerah sampai yang diinginkannya benar-benar tercapai.

"Iya gue pulang bareng lo, tapi lo jalan duluan"Vardo menyiritkan alisnya mendengar perkataan adel

"Udah nurut aja napa sih"adel mendorong Vardo berjalan mendahuluinya, lalu mengikutinya dari belakang.

"Lo kenapa sih cel?"Vardo menghentikan langkahnya saat dikoridor yang sepi lalu menatap adel yang terpaut 6 meter dibelakangnya.

"Hah cel?"adel mem-beo dan menghentikan langkahnya.

"Iya boncel"adel mendengus lalu menatap vardo datar.

"Boncel boncel, gue juga ga pendek-pendek amat. Tinggi segini nih udah standar tau gak"

Vardo terkekeh"Iya standar buat para kurcaci"

"Gue sumpahin lo dapet istri kek kurcaci entar"adel menatap  vardo sinis, sedang yang ditatap hanya memberikan smirk menyebalkan.

"Sory aja, istri gue entar tuh yang depan belakangnya ber-isi, tinggi, cantik. Bukan yang flat trus boncel kek lo"adel mendecih mendengar hinaan vardo lalu tertawa terbahak bahak.

"Kenapa lo?" Vardo menyipitkan matanya menatap adel yang masih tertawa

"Cewek sesempurna yang lo sebutin tadi mana mungkin mau sama muka lo yang kek orang autis gitu"vardo menggeram menatap adel yang makin tertawa terbahak-bahak.

"Lo ituu...."

"VARDO!!" Adel menoleh kebelakang, melihat orang yang menyerukan nama sahabat yang tadi dihinanya habis-habisan.

"Lo kenapa gak kelapangan?" Laki-Laki itu berjalan maju menghampiri vardo

"Ah gue mesti nganterin Radelta balik dulu"vardo & laki-laki itu sama-sama menatap adel. Laki-laki yang dikenal sebagai salah satu pentolan sekolah, arva. Menatap adel lama lalu memberikan senyuman kepada adel yang dibalas adel dengan senyuman lebar layaknya psikopat yang menemukan mangsanya.

"oh, tadi gue udah bilang juga sama anak-anak lainnya, mereka setuju kalo lo masuk ke tim kita, lagian mereka juga udah pernah liat kemampuan lo waktu class meeting. Walaupun tanpa di seleksi lo udah diterima"adel gelagapan ketika arva menoleh kearahnya, ketahuan memperhatikan arva saat berbicara tadi. Lalu membuang pandangannya pura-pura fokus menatap dasinya.

"Oke, thanks udah ngajakin gue bergabung" ucap Vardo yang dibalas anggukan oleh arva.

"Ayo del"adel mengangguk lalu melangkahkan kakinya mendekati vardo dan melirik arva sekilas.

"Gue duluan va"

"Iya"adel memberanikan diri menatap arva yang tengah menatap dirinya sambil tersenyum tipis. Lalu tangannya ditarik vardo pergi meninggalkan arva.

"Eh Radelta tunggu"vardo dan adel menghentikan langkahnya, menatap arva dengan tatapan bingung

"Pake ini" adel menatap hoodie yang disodorkan arva dan wajahnya bergantian. Untuk apa arva memberinya hoodie?

"Anak-anak basket banyak didepan sana. Ehm rok lo merah"Adel mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Mencerna ucapan arva yang terdengar sangat ambigu.

ASTAGAA..

Dia kan sedang terkena jadwal bulanan. Merah artinyaa...

'Wtf-_- mati aja lo del'

"Pake aja gapapa kok"arva kembali tersenyum manis, tak henti-hentinya memamerkan lesung di kedua pipinya itu. Sedangkan wajah adel yang sudah merah padam itu bahkan sampai ke telinganya

Mau ditaruh dimana muka adel, Mau taruh dimana mukanya, Sedangkan jika babu-nya A.K.A vardo saja tahu ia pasti akan malu setengah hidup, apalagi ini si pentolan sekolah, arva, orang lain baginya. 
menutup wajahnya dengan tangan kanannya Sedangkan tangan kiri adel bergerak mengambil hoodie yang disodorkan arva.

Sempat membuka celah jarinya sedikit adel melirik vardo yang sudah membuang wajahnya ke arah lain, sangat ketahuan bahwa ia sedang menahan tawa dari melihat bahunya yang bergetar.

Sial!

Vardo tak ada niatan membantu sama sekali. Dasar payah!

TBC

10 januari 2016
2:10 PM

Tinggalkan jejak!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RadeltaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang