Dikejutkan oleh sebuah mobil sport putih yang mengerem mendadak membuatnya terparkir tepat di depan sebuah rumah minimalis yang terkesan teduh karena terdapat beberapa bunga aster yang mengelilingi pagar. Tidak besar namun juga tidak kecil, sederhana namun elok dipandang dengan kesan modern.
Seorang pemuda turun dari mobil, tapakan sneakersnya terdengar buru-buru, ia lalu membuka pintu samping kemudi. Mendapati adiknya yang tertidur pulas, ia menghela napas lega, bersyukur karna tidak membangunkan putri tidurnya. Begitu tenang.
Dadanya mencelos seketika, menguatkan hati untuk tidak meluapkan emosi. Tidak, jangan sekarang. Tanpa ingin membangunkan, Adam menggendong adiknya pelan-pelan, membawa tubuh ringkih itu kedalam pelukannya.
Lalu setelah seorang pembantu membukakan pintu depan rumah, Adam melesat masuk dan membuka pintu kamar yang tidak terlalu rapat ditutup—sehingga dengan mudahnya ia menendang pintu berbahan kayu jati itu. Dengan lembut Adam membaringkan tubuh Carmen diatas kasur, lalu menyelimutinya hingga sebatas leher.
"Tidur yang nyenyak," bisik Adam pelan pada telinga mungilnya, setelah itu ia mengecup kening Carmen dengan sayang.
Bajunya basah, begitupula juga dengannya, Adam kalang kabut tadi sehingga otaknya tak bisa berpikir lagi. Opsi terbaik sekarang adalah pergi menjauh, apapun itu agar dirinya bisa hidup dengan tenang.
Sebelum keluar dari kamar, Adam menekan saklar lampu lalu keluar dari kamar. Ia mendapati dirinya tengah duduk di depan perapian menjaga tubuhnya tetap hangat. Dua kali ia melihat perapian dalam satu hari.
"Bi, minta tolong ganti pakaian Carmen," ujar Adam ketika melihat Bibi Tani—asisten rumah tangganya berjalan melewatinya. Adam memijit pangkal hidung, kepalanya seperti dipukul palu godam.
"Baik," sahut Bibi Tani, mengangguk mengerti lalu segera melesat setelah menaruh cucian piring yang hampir selesai.
Adam sudah cukup dibuat lelah untuk berjalan ke kamarnya dan berganti baju. Kakinya tidak bisa diajak kompromi.
Ah, tidak ada salahnya jika berisitirahat disini semalaman. Lagipula takkan ada yang melarang.
•••
"Gue nyalain radionya, biar gak sepi,"
"Segala bilang, sok banget," sahut Adam.
"Ih najisin banget si lu,"
Adam terkekeh mendengarnya, mengacak-acak rambut soft grey Carmen yang ditata rapi tadi pagi—sang empu, mendengus kesal sambil menepis kasar tangan lebar kakaknya. "Kemarin kenapa sih? Gue kaget tahu, kesambet apaan lu." tanya Carmen dengan nada menghina
Adam terdiam sejenak. Dirinya tak mungkin memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf," walaupun agak jengkel juga mendengar kalimat terakhir yang Carmen ucapkan.
Beberapa menit pun berlalu dengan keheningan yang menyelimuti mereka. Tujuan terakhir, mereka akhirnya sampai di sebuah bangunan besar berwarna coklat yang ditengahnya berdiri kokoh jam kuno. Sekolah berstandar elit yang hanya ada dua pilihan jika ingin masuk disana. Terdaftar sebagai kaum berdompet tebal atau tingkat kejeniusan diatas rata-rata.
"Udah sampe, ayo turun," Keduanya turun bersamaan, Adam segera mengaitkan tangan panjangnya pada pinggang kecil Carmen, agak aneh memang namun kesannya begitu hangat dilihat.
"Adam!" jeritan kaum hawa terdengar di sepanjang koridor kelas. Sebagian dari mereka hanya menatap dalam diam sambil berkomat kamit.
"Penggemar lo.. gila," bisik Carmen sambil terkekeh. "Mendingan jangan rangkul gue deh kalo disini. Risih,"
"Alay ah," sahut Adam. "Lo adek gue, mereka gak bakal berani ngapa-ngapain lo,"
Setelah sampai di depan kelas Carmen, Adam melambaikan tangan padanya dan bergegas pergi menuju kelasnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tweè Rebelious
Teen FictionAdam Ghiffari Putra sudah berpegang janji teguh kepada dirinya sendiri untuk menjaga dari siapapun-apapun--yang akan membuat adiknya terluka setelah insiden lima tahun yang lampau. Awalnya semua baik-baik saja, Adam bisa mengatasi semuanya dengan te...