Aku berdiri menatap ke arah jendela kamarku yang berembun. Jari jemari mungilku mengusap kaca jendela dengan kedua telapak tanganku sehingga aku bisa melihat pemandangan kota di malam hari. Aku terus melakukannya hingga akhirnya aku bisa melihat cahaya kelap-kelip dari gedung-gedung di kota.
Aku terus menatapnya dari kaca jendela yang kembali berembun. Woah, keren. Menatap cahaya kelap-kelip serta lampion-lampion yang beterbangan di malam festival musim gugur tahunan. Aku terus menatap cahaya dengan berbagai variasi warna cerah. Melihat setiap gerakan kemana arah lampion itu pergi. Aku melihat ke arah sebuah lampion paling besar, bercahaya biru muda yang indah, dan terbang paling atas di antara lampion lainnya.
Semoga kota ini terus bersinar seperti lampion itu, aku berharap dalam hati.
Aku melihatnya terus terbang menembus awan. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Tepat jam 9 malam, apa mungkin awan tampak merah pekat di tengah langit kegelapan? Suara tiap detik ke detik di jam dinding semakin nyaring. Suara hembusan angin saat kubuka jendela kamarku terasa seperti ada seseorang yang membisikkan sesuatu tapi kedengarannya tidak jelas.
Tatapanku masih tertuju ke langit merah itu. Aku juga merasa tidak seperti biasanya, ibu tidak datang ke kamarku untuk memberitahukan bahwa makan malam sudah siap. Aku mengalihkan pandanganku ke arah pintu dan berjalan menghampirinya. Tiba-tiba suara debum keras membuat jantungku melemah. Suaranya berasal dari langit-langit kamar.
Aku memastikan tidak ada yang terjadi di atas sana. Kamarku ada di lantai dua dan rumahku hanya berlantai dua. Ini pasti terjadi di atap rumah. Aku pergi keluar kamar, semua lampu masih menyala, aku menaiki tangga kecil yang menghubungkanku dengan atap rumah. Aku membuka sebuah pintu kayu yang posisinya condong menghadapku.
Aku berdiri dan menyeimbangkan tubuh mungilku dan berusaha berdiri tegak di atas sebuah genteng. Angin malam membuat tubuhku menggigil kedinginan. Lampion-lampion itu sudah lenyap entah kemana. Aku berjalan perlahan. Aku tersandung salah satu genteng, jadi aku memutuskan untuk berjalan merangkak ke sumber suara debum keras tadi.
Aku terus merangkak, perlahan tapi pasti, sampai akhirnya tubuh mungilku menyerah, lututku sakit karena terus menekan genteng, sesekali tersandung genteng, dan menekan bagian ujung genteng. Aku berhenti sejenak, kedua tanganku berpegangan erat ke dua genteng di depanku. Mataku kelilipan, angin berhembus semakin kencang. Aku melihat di kejauhan ada jubah hitam menjuntai panjang yang tertiup oleh angin.
Jubah hitam pekat mengilap itu terus tertiup angin. Angin berhembus semakin kencang, desas-desus yang mungkin disebabkan oleh angin seperti membisikkan sesuatu ke telingaku. Desas-desus itu semakin nyaring. Yang kudengar hanyalah suara orang yang membisikkan atau bahkan ingin membicarakan sesuatu denganku. Ada beberapa kalimat yang ia katakan dan angin kencang membuatku tak bisa mendengarnya lebih jelas.
Tiba-tiba aku mendengar bisikkan itu dengan jelas, "... Tamatlah dirimu... Gadis ingusan..."
Mataku terasa pedih, aku berusaha untuk bangun dan berjalan mendekatinya untuk bilang bahwa kata-katanya tadi bermaksud untuk mengejekku dan aku ingin menasihatinya. Aku berusaha membuka mata lebar-lebar agar bisa melihat jubah itu, aku berdiri, berjalan di genteng rumah yang miring untuk pertama kalinya. Aku tahu aku hanya anak kecil yang masih berumur 5 tahun, tapi ibu mengajarkanku untuk mengingatkan satu sama lain jika ada seseorang yang berbuat salah.
Genteng-genteng di atap yang miring membuatku seringkali tergelincir. Akhirnya jarakku dengan jubah itu hanya sekitar 5 langkah kedepan dari posisi tubuhku. Angin kencang mereda dan tidak sekuat dan sekencang hembusan tadi.
Aku maju satu langkah untuk menyapanya, sebelum aku mengatakan "Permisi, maaf tuan, apa kita bisa bicara?", pria berjubah itu membalikkan tubuh jangkungnya, menghadapku, kepalanya merunduk seperti seseorang yang menatapku dengan tajam. Wajah pria itu tidak terlalu jelas karena ditutupi tudung hitam jubahnya. Jubahnya menutupi hampir semua bagian tubuhnya, yang kulihat hanya batang hidungnya dan sepatu pantofel prianya.
Pria itu berlutut agar kepalanya bisa sejajar dengan kepalaku, ia mengangkat wajahnya yang masih telihat gelap, lalu menyentuh daguku dengan jari telunjuknya dan menaikkan daguku ke atas, jari dengan kuku yang panjang itu sedikit menusukku dan memaksaku untuk menengadah ke arah langit.
Akhirnya ia menyeringai padaku dan berkata, "Tamatlah dirimu."
Tiba-tiba tubuhku terpental ke belakang, tidak bisa bergerak, mati rasa. Kembali terpental ke ujung genteng. Kedua tanganku berpegangan erat ke salah satu genteng, tubuhku sudah bergelantungan dan jika aku melepas kedua tanganku aku akan jatuh dan tewas mengenaskan.
Aku menelan ludah, menatap ke bawah, halaman belakang rumah tampak menyeramkan, seakan-akan aku akan terjatuh dari sebuah tebing. Entah kemana pria itu pergi, halaman belakang rumah yang kulihat dari atas membuat pikiranku semakin kacau.
Bagaimana jika aku jatuh? Dimana ibu, ayah, dan kakak? Mengapa mereka tidak ada disini? Mereka tidak akan menyelamatkanku.
Sudah beberapa menit aku bergelantungan disana, berusaha naik ke salah satu genteng tapi tidak bisa, tanganku melemah. Tanganku tiba-tiba licin. Pegangan erat kedua tanganku terlepas. Aku terjatuh kebawah.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAARGH!!!" aku berteriak sekuat mungkin agar setidaknya ada orang yang mendengarku.
Aku terjatuh halus, semua pandangan menjadi gelap, rasanya seperti sedang terbang tapi tertarik gravitasi atau medan magnet yang sangat kuat. Lalu aku mendengar suara debum keras, semua tubuhku sakit menghantam sesuatu yang sangat keras, dan aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
-----
Bersambung
-----
A/N :
Howdy, readers!
Btw ini novel ke-2 W.I.P ku.
Semoga kalian suka ^^
Maaf kalau mengecewakan ):Jangan lupa vomment! ^^
And follow, please :'v
KAMU SEDANG MEMBACA
New Horizon
FantascienzaDi masa depan, seluruh bumi akan berubah. Teknologi semakin canggih dan semua akses untuk melakukan apa yang kita mau semakin mudah. Tapi setelah sekian lama, semua yang diharapkan dari teknologi itu berbanding terbalik. Tidak lagi menguntungkan, ta...