Percuma.
Suatu kata yang menguatkan satu tekadku untuk beranjak dari kepahitan ini.
Tak ada eksplanasi. Hanya ada rasa.
Rasa patah yang silih mengganti dan berganti.
Saat aku telah ungkapkan segala yang patut kuungkapkan, kamu menjadikanku sebatas teman. Itu tak masalah karena aku tak pernah menuntut sebuah rasa yang sesungguhnya aku harapkan.
Ayolah, aku tak sejahat itu!
Aku tak sejahat dirimu yang menjadikanku seorang teman curhat-mu mengenai kepergiannya; seorang yang kau kasihi.
Aku hanya bertanya satu hal padamu namun tak sempat kau jawab
"Cukup buta-kah engkau melihat ketulusan ini? Atau hanya pura-pura buta?"
Bahkan saat kau sakiti hingga hatiku tak dapat berkutik apa-apa lagi, aku masih sempat memberimu saran.
Tak banyak yang kuingini, karena aku tahu diri!
Kamu terlalu senang berlari, namun aku lelah berlari.
Tak apa. Sungguh tak apa.
Asal kau tahu saja jarang aku menangisi seorang wanita, namun kali ini aku mengisi lembar kosong dengan tangis yang menemani.Sudah kubilang, bukan?
Bahwa tak banyak yang kuharapkan padamu. Sungguh.
Aku hanya membutuhkan pengertianmu akan diriku.
bertukarlah posisi, agar kau semakin mengerti arti ketulusan.
Jika tak ada setetes cinta saja darimu, lantas saat aku mengucap kata pergi, mengapa kamu genggam kepergianku?
Maka aku-pun bertahan (lagi).
Tak kusadari bahwa ini adalah percuma.
YOU ARE READING
Menjauh
NonfiksiAku teringat pada apa yang telah kulewati, saat kamu abaikan segala usahaku untuk singgah dihatimu Lalu aku-pun tersadar bahwa segalanya sia-sia.