Story 1: Tamu Undangan

99 30 6
                                    


"Selamat ya, Ta! Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah dan selalu mendapat lindungan dan berkah dari Allah."

Aku tercekat dan menahan nafas. Wajahku mendadak pucat.

"Te... terima kasih ya!" kataku dengan terbata. Kupaksakan diri untuk tersenyum sambil menakupkan kedua tangan. Dia melakukan hal yang sama denganku sambil tersenyum manis. Senyum yang pernah kurindukan dulu.

Sejak kedatangannya, keceriaanku menjadi hilang. Lelaki yang menjadi suamiku dan berdiri di sampingku, kini menyadari perubahan sikapku, tetapi dia hanya diam saja. Dia malah asik bercengkerama dengan tamu itu. tak peduli dengan suasana hatiku yang sudah berubah warna.

***

"Kau kenapa, Ta?" tanya sang suami saat melihatku yang terbengong di depan meja rias tanpa melakukan apapun. Aku yang menyadari kehadirannya, langsung tersentak kaget. Kuhela nafasku lalu kulepaskan semua hiasan yang tersemat di atas hijabku.

"Tamu yang tadi... kau tau?" aku malah berbalik tanya sambil melepas ronce melati yang tersemat di tubuhku. Kulirik dia melalui cermin dan dia hanya mengangguk.

"Yup. Lalu?"

Aku menghela nafas. Kini, di kepalaku tinggal hijabku yang belum terlepas.

"Dia mirip seseorang. Aku pikir, aku tadi melihat hantu," jawabku sambil melepas jarum-jarum kecil yang tersemat di hijabku.

"Tidak. Itu nyata. Itu memang dia." Perkataannya membuatku menoleh dan menatapnya tak percaya. "Maksudku... saudara kembarnya."

Mataku membelalak. Berita ini benar-benar baru kuketahui.

"Kau... tau tentang dia?" tanyaku tak percaya.

Lelakiku mengangguk. "Dia investor di perusahaanku. Kami juga pernah bekerja sama untuk sebuah proyek di Bali. Hingga akhirnya kami akrab."

"Tapi bagaimana dia tau tentangku?"

Lelakiku menyeringai kini. "Tentu saja dari kembarannya. Semasa kembarannya masih hidup, mereka saling cerita. Dan dia menceritakannya kembali padaku. Tentangnya, tentang adik kembarnya, dan tentangmu."

Aku menatap cermin. Mengusap muka dengan tisu basah. Seketika, wajahku yang tadinya berwarna kini polos tanpa make up.

Jauh di sana, di sudut hatiku terasa nyeri. Karena kembali diingatkan akan masa lalu. Kenangan-kenangan bersamanya kini menyeruak. Menimbulkan rasa perih dan ingin menangis. Perih karena kepergiannya dulu yang tiba-tiba setelah dia menahan sakit yang telah dideritanya selama bertahun-tahun seorang diri. Sedangkan aku terlambat mengetahuinya.

"Sudahlah, jangan sedih! Dia hanya masa lalumu, kan? Atau kau masih selalu mengenangnya?" tau-tau suamiku sudah berdiri di belakangku dan menatapku dari cermin. Aku berbalik dan menatapnya dengan rasa bersalah. Mataku sedikit berkaca.

"Mianhaeyo, oppa!" kataku lirih.

Lelakiku memicingkan mata mendengar suaraku yang nyaris berbisik.

"Untuk apa?"

"Aku jadi teringat dia. Saat aku sudah benar-benar melupakannya, dia malah datang lagi walaupun itu cuma kembarannya. Kupikir dia bereinkarnasi. Sungguh, aku shock tadi."

Lelakiku tertawa. "Pantas saja!"

Aku cemberut mendengar tawanya. Tetap manyun ketika dia membantuku melepaskan hijab. Setelahnya, dia melepas gelungan rambutku. Senyum manis lengkap dengan lesung pipinya pun muncul. Wajahnya berbinar.

"Kamu cantik, Ta!" pujinya pelan.

Aku merona. "Jjinjayo? Baru tau ya?"

Dia mendengus, menyembunyikan tawanya. "Baru gitu aja udah GR!"

Issssshhh... aku makin manyun. Sepertinya, aku memang tidak boleh merasa senang dikit ketika bersamanya. Benar-benar deh! Ingin rasanya aku jitak kepala gantengnya. Tapi itu cuma ingin. Karena nyatanya, aku cuma bisa mengirimkan tatapan garang padanya yang dibalas dengan tawa berderainya.

"Molla. Kau menyebalkan!" seruku sambil beranjak ke kamar mandi untuk ganti baju.

***

"Melamun terus sih, Ta! Masih kepikiran ya?" usik suamiku lagi sambil duduk di sampingku, di tempat tidur.

Aku menggeleng lemah. Ketauan ga yakin. Buktinya dia menatapku tak percaya.

"Yaaa... masih kepikiran dikiiiiiiiiiitt..." jujurku akhirnya.

Dia menghela nafas. Lantas mendekatiku. Kedua tangannya terulur untuk memegang kedua pipiku.

"Forget him, please! I'm jealous. He's just your past, right?" tanyanya yang langsung kujawab dengan anggukan. Membuatnya tersenyum. "Once more question, are you ready?"

"Siap untuk apa?" tanyaku sambil mengangkat alis, bingung.

"Malam pertama!" jawabnya yang disertai dengan seringai kecil.

Sontak wajahku langsung memerah hingga ke telinga. Mendadak di sekitarku terasa panas. Jantungku langsung jumpalitan. Hingga akhirnya aku bingung mau ngomong apa.

"Sekarang?" akhirnya, cuma kata itu yang bisa keluar dari bibirku.

"Besok!" jawabnya dengan sedikit menatapku sebal.

Mataku setengah melotot mendengarnya. Baiklah, kuanggap jawabannya itu serius.

"Oke! Aku tidur duluan ya! Hari ini benar-benar melelahkan!" kataku sambil merebahkan diri di kasur dan merenggangkan otot-ototku sejenak. Lalu memejamkan mata.

Baru sekian menit mataku terpejam, aku merasakan satu kecupan lembut di keningku. Lengkap dengan sentuhan jemarinya di wajahku. Membuatku kembali membuka mata. Agak sedikit kaget karena dia sudah ada di atas tubuhku.

"Kau bilang besok, kan?" tanyaku mencoba menolak. Sungguh, inginnya aku istirahat saja malam ini.

Dia tertawa kecil sambil tetap menelusuri wajahku dengan jemarinya.

"Istri masih gress begini dianggurin. Neo babo ya!"

Mataku melotot. Mulai emosi karena dia mengatakan aku bodoh.

"Oppa!" aku hendak mengeluarkan amarahku. Tetapi saat aku membuka mulut untuk memprotes, dia kembali membungkamnya dengan bibirnya.


*end*

ahad, 6 desember 2015

20.20 wib




Analekta MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang