"La, kamu mau ga, nikah sama aku?"
Aku tertegun. Shock mendadak. Mataku setengah membelalak saat menatapnya. Jantungku berdebar hebat. Keringat dingin mulai mengucur. Tiba-tiba saja seluruh tubuh terasa kaku, sulit bergerak. Nafasku pun tercekat. Setengah mati berusaha menyangkal, tak percaya pada apa yang baru saja kudengar. Apa yang baru saja dia ucapkan?
Kupandangi sesosok laki-laki yang duduk di hadapanku. Sesosok lelaki yang tengah menantikan jawabanku atas pernyataannya seraya menatapku lekat. Ingatanku mulai liar.
Jika saja laki-laki itu adalah Ryan, orang yang saat ini menjadi kekasihku, orang yang sangat aku sayangi, tanpa perlu pikir panjang, tanpa perlu aku merasa shock, tanpa perlu aku diam laksana patung, sudah pasti pernyataan itu akan aku iyakan, mengangguk, menyanggupi, seraya kuberikan senyum termanisku untuknya.
Jika memang Ryan yang mengatakannya, sudah pasti aku akan tersenyum bahagia, karena hal itulah yang sangat aku nantikan dari dirinya. Walau sebenarnya kami belum lama pacaran tetapi hubungan kami sudah serius dan mengarah ke jenjang pernikahan.
"La?"
Aku tersentak dari lamunan, kembali ke alam nyata. Aku menghela nafas. Sepasang mata hitam nan tajam itu masih menatapku lekat, menanti jawabanku. Aku baru sadar kalau ia sedang menggenggam jemariku. Segera kutarik tanganku sebelum telanjur jauh, takut-takut kalau di kafe ini ada temanku ataupun teman Ryan yang memergokiku sedang berduaan, yang akhirnya akan menjadi skandal terlebih bila si teman itu melaporkannya pada Ryan.
Aku menunduk untuk menyembunyikan gugupku. Agaknya aku merasa sedih karena kalimat itu bukan berasal dari Ryan.
Melihatku yang hanya diam saja, dia kembali berbicara.
"La, aku tau kamu shock banget. Mungkin juga malah menganggapku gila, karena kita baru bertemu lagi hari ini setelah sekian tahun kita berpisah dan aku langsung menyatakan hal itu. Aku mengerti. Kamu mungkin ga siap dengan jawabanmu saat ini. Tapi, satu hal yang pasti, aku serius!" dia menghentikan kalimatnya untuk menghela nafas. "Aku masih sayang banget sama kamu, La!"
Tuhan, ini mimpi buruk! Aku langsung bersorak dalam hati.
Bagaimana bisa? Setelah enam tahun berlalu. Setelah cinta untuk laki-laki yang duduk di hadapanku ini sudah lama sirna semenjak kepergiannya tanpa kabar. Setelah aku sampai rela mencarinya hingga ke rumah orang tuanya hanya karena merindukannya namun ternyata sia-sia. Dan sekarang ketika aku berhasil bangkit hingga kemudian jatuh cinta lagi, ternyata dia kembali. Mengatakan masih sayang padaku bahkan ia berani melamarku di pertemuan kami yang pertama ini, setelah enam tahun berlalu...
Astaga...
Dewantara Andiansyah, kegilaan macam apa yang tengah kautunjukkan padaku?
Luka hati yang telah lama terkubur itu kini membuka lagi. Memerah. Ingatan-ingatanku yang telah lama kulupakan kini kembali menyeruak. Terkenang dengan sangat jelas.
Tanpa sadar, bibirku tersungging senyum sinis. Setengah mengejek.
"Masih sayang? Setelah enam tahun berlalu?" gumamku tak percaya.
Aku mengalihkan pandang. Enggan menatap mata elangnya. Atau mungkin aku mulai merasa muak?
Andi mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dariku.
"Jujur aku ga bisa ngelupain kamu, La. Aku sayang banget sama kamu. Itu sebabnya saat aku kembali ke Jakarta, aku langsung mencarimu. Dan aku ga nyangka kita bisa bertemu di sini, di kafe ini. Rasanya, Tuhan mengabulkan semua doa-doaku untuk kembali bersamamu."
Kalimatnya menjadi tak istimewa lagi. Seharusnys aku senang, seharusnya akh bahagia. Aku sangat mencintai dan menyayangi Andi. Aku merindukannya tiap waktu. Menginginkannya untuk menjadi milikku. Karena di mataku, Dewantara Andiansyah adalah tipikal laki-laki yang sempurna. Tampan, elegan, atletis, ramah, baik, dan entah apalagi yang kemudian menjadikannya sebagai The Most Wanted Man In Jakarta Contest.
KAMU SEDANG MEMBACA
Analekta Memory
Short StorySekumpulan cerita selintas yang ada dalam benak. Beberapa adalah fiksi rasa nyata, kenangan, juga impian. Ini tentang semua rasa, semua cerita, dan semua genre. Selamat membaca.