Nggak ada yang aneh dengan penampilan kursi itu. Sama kayak kursi kerja biasa. Kepala dan dudukannya dilapisi leather imitasi berwarna coklat dan mungkin ada busa di dalamnya. Lengan dan kakinya berwarna hitam. Ada lima roda di tiap sudut kakinya sehingga bisa kita berpindah sesuka hati hanya dengan menyeretnya. Kursi itu bisa berputar dan sandaran punggungnya pun bisa ditekuk sehingga bisa digunakan untuk tiduran. Hanya saja, sedikit bercak merah di belakang kursi sedikit mengganggu keindahannya. Aku berpikir itu cuma cat yang tak sengaja ditumpahkan pemilik sebelumnya.
Aku mendapatkan kursi itu dari lungsuran teman yang pindah rumah.
Sayangnya, ada berjuta misteri tersimpan. Aku pernah merasakan pinggangku seperti dikitik-kitik. Juga pernah merasakan hembusan nafas di tengkuk saat aku duduk sambil membaca buku. Lalu pernah merasa kedua pahaku tertumpu beban berat padahal nggak ada apa pun di atas pahaku. Tepatnya, kursi itu seperti 'berpemilik'.
Tapi memang dasarnya sok-sok berani dan ngeyelan, aku membiarkan kursi itu di kamar. Padahal adik atau kakakku yang pernah duduk di kursi itu, nggak akan meletakkan pantatnya di sana lebih dari dua menit.
"Kak, lo pernah ada yang aneh nggak waktu duduk di kursi itu?" lapor adikku suatu ketika.
Aku menggeleng. "Nggak tuh. kenapa?"
Nggak salah lagi maksudnya. Tapi aku sengaja nggak melanjutkan kalimatku hanya untuk memancing keterangannya.
"Masa sih? Gue kemarin duduk di situ kayak ada yang ngelitikin punggung lho."
"Oya?" Aku mengangkat alis, pura-pura kaget.
Adikku mengangguk penuh semangat.
"Gue rasa, itu kursinya horor. Ato mungkin kursi hantu. Ato kursi berhantu."
Aku terbahak.
"Dasarnya lo aja yang penakut."
"Eh, gue beneran, Kak." Dia bergidik, sambil memandang kursi itu. "Kursinya serem ih. Buang aja tuh, Kak."
"Sayang ah. Kenang-kenangan dari temen."
Apa iya kursi itu berhantu? Atau itu cuma semacam sugesti? Aku pada dasarnya nggak percaya yang begituan. Jadi ya anggap saja sedang berpetualang saat duduk di kursi itu.
**
Aku pulang tengah malam. Lembur buat ngumpulin modal beli rumah ceritanya. Sambil buka sepatu, aku duduk di kursi itu. Nggak ada yang aneh hingga aku naik ke tempat tidur dan menyelimuti tubuh sampai ke kepala. Aku biasa tidur dengan selimut menutup seluruh tubuh, persis mayat.
Baru saja akan terbang ke alam mimpi, terdengar suara sesuatu yang bergeser seperti roda kursi beradu di lantai keramik. Aku menurunkan selimut di kepala, sekedar mengecek keabnormalan.
Hening. Mataku beralih pada kursi yang kucurigai sebagai biang keladi suara itu. Nihil. Kursi itu masih di tempatnya. aku bernafas lega dan kembali memejamkan mata dengan selimut yang menutup sampai kepala.
Bunyi itu datang lagi. Suaranya seperti tadi. Seperti ada bunyi roda kursi yang bergeser dan beradu di lantai, berderit kencang kali ini.
Aku melek lagi. Lebih waswas. Jantungku mulai memompa cepat. Kursi itu udah berpindah. Aku masih ingat kursi itu tadi ada di kiriku, kenapa sekarang ada di kanan?
Tapi herannya, keadaan kayak gini belum cukup nakutin. Malah berpikir ini cuma halusinasi.
Aku balik tidur dengan kepala tertutup selimut, rapat.
Jantungku serasa keluar dari dada saat bunyi deritan itu muncul lagi. Aku mulai berkeringat dingin dan bulu kuduk meremang.Aku nggak bisa tidur. Malah cengo macam sapi ompong saat kursi itu pindah lagi ke tengah dan... ada punggung seseorang dengan tangan terikat di belakang kursi itu.
Aku mengucek mata. Rasanya mau pingsan ketika dari belakang kepala orang itu mengalir darah dan merembes hingga kepala kursi. Aku serasa kaku di tempat. Mulutku menganga tapi nggak ada satu suara yang keluar.
Aku melotot parah ketika kursi itu berputar, memperlihatkan seorang perempuan dengan kening bolong seperti habis tertembak.
Aku berteriak kencang. Syukurlah suaraku kembali. Kupikir suaraku hilang dan akan jatuh pingsan.
Tentu saja teriakanku mengagetkan sekeluarga. Aku persis orang gila yang teriak tengah malam.
Mereka menggedor bahkan mendobrak pintu. Bapakku yang pertama kali kulihat. Disusul ibu, kakak, dan adikku di belakangnya.
Aku langsung ngibrit dan memeluk bapak.
"Apaan sih pake teriak-teriak? Nggak tau ini udah malem apa?" omel bapak.
Aku membenamkan kepala di dada bapak. Menangis sesenggukan kayak anak kecil nggak dikasih jajan. Tanganku menunjuk-nunjuk kursi.
"Itu... itu... ada hantu! Itu... di kursi... ada hantunya," cicitku dengan suara terbata.
"Mana? Mana? Nggak ada apa-apa juga," omel bapak lagi.
"Itu bapak. di kursi." Tanganku masih menunjuk-nunjuk, tetapi mataku tetap memejam di dada bapak.
"Hantu apa sih?" Ibuku kepo.
"Nggak tau nih anakmu, Bu. Lha wong kursinya kosong gitu kok. Mana hantunya?"
Tangisku berhenti. Tapi aku masih nggak ingin lihat kursi.
"Nggak ada apa-apa, Nak. Coba hantunya mana? Kasih tau bapak sama ibu." Bapak menjauhkan kepalaku dari dadanya. Lalu mengarahkan wajahku pada kursi itu.
Aku menahan nafas. Kursi itu kosong dan berpindah lagi ke sisi tempat tidurku. Entah kapan pindahnya.
Menyadari hal itu, kesadaranku menurun dan gelap menyapa. Sayup-sayup kudengar teriakan panik sebelum kesadaranku hilang total.
End
Fri, 25 nov 2016; 17.15
KAMU SEDANG MEMBACA
Analekta Memory
Short StorySekumpulan cerita selintas yang ada dalam benak. Beberapa adalah fiksi rasa nyata, kenangan, juga impian. Ini tentang semua rasa, semua cerita, dan semua genre. Selamat membaca.