Part 3

79 5 0
                                    


"Mendengar suara indah mu seperti mendengar malaikat bernyanyi"

-I-


-Memendam Rasa-

Jantungku berdegup kencang saat baru berdiri di atas panggung. Di depanku sudah berdiri MicStand yang akan menjadi temanku saat bernyanyi. Aku membenahi rambutku yang di baru saja di tata oleh Sarah. Lalu aku menoleh ke belakang, tersenyum kepada Iqbal yang sedang bersiap dengan gitar. Aku bahkan sudah siap sedari tadi. Sudah memasang peta visual di otakku yang akan kubaca tepat saat petikan gitar dari jemari Iqbal mulai mengalun. When I look at you by Miley Cyrus. Entah apa yang membuatku melontarkan judul tersebut tepat saat kami berdiskusi.

Petikan gitar mulai mengalun pelan. Aku mengambil napas panjang, mulai bernyanyi dengan kemampuan terbaikku. Sesekali aku melirik Iqbal juga Faishal yang berada di sebelahku. Aku benci mengatakan ini, namun, aku dapat melihat mereka berdua saat memejamkan mata, dimana itu merupakan kekuatan ku untuk bernyanyi. Tapi tidak mungkin. Aku memendam rasa untuk Iqbal, dan memang harus Iqbal. Bukan Faishal.

"You appear just like a dream to me" alunan suaraku menutup lagu tersebut bersamaan dengan mataku yang kembali terbuka, dan disambut dengan tepuk tangan meriah. Aku melihat Sarah yang berada tepat di depan meja minuman, jemarinya bertautan dengan jemari Rexy, ia lantas tersenyum padaku dengan setetes air mata yang jatuh.

Aku membenahi dress biru yang kukenakan, lantas berniat meninggalkan panggung. Namun seseorang meraih lenganku, aku menoleh cepat hingga beberapa helai rambutku jatuh melewati mata dan sedikit berantakan. Faishal. Lelaki yang kutemui saat pertama kali latihan. Lelaki yang meraih tanganku untuk berkenalan. Lelaki yang selalu menatapku ketika diriku mulai menikmati lagu yang kudengar lewat earphone. Juga lelaki yang diam diam menyimpan rasa padaku.

Aku menatapnya tajam. Ia lantas mengenggam tanganku dihadapan beberapa guru dan banyak siswa yang tadinya menikmati lagu kami. Ia masih memiliki aroma yang sama. Aroma shampoo yang telah bercampur dengan keringat, namun kali ini dibumbui Parfum.

"Ryu" ucapnya pelan. Aku bahkan ingin menangis ketika seorang lelaki yang kukagumi karena ketampanannya kini menyebutkan namaku dengan pelan, di depan banyak orang.

"Mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan ini, tapi ryu aku sungguh mencintaimu." ada bagian dari diriku yang runtuh ketika mendengar kata kata itulah yang akan keluar dari mulutnya. Ada bagian dari diriku yang berhenti bekerja sehingga semua terasa lumpuh. Dan ada bagian dari diriku yang terasa menyakitkan ketika aku mendengarnya.

"Dan aku ingin kau menjadi kekasihku" ucapnya lagi. Aku melirik Iqbal yang berada di belakangku, tepat di sisi kiri. Aku juga melihat ekspresi datarnya. Aku benci mengatakan hal ini, tapi mengapa harus Faishal? Mengapa harus dirinya yang menyatakan perasaannya disaat yang kuinginkan adalah Iqbal? Aku hanya menganggumi Faishal. Hanya sebatas kagum karena detail wajahnya yang seperti artis kesukaanku, Taylor Lautner. Namun aku mencintai Iqbal. Aku sangat mencintai Iqbal. Walau terdapat tanda tanya besar di dalam hatiku mengapa sampai sekarang ia belum memiliki kekasih, sejak dua bulan yang lalu, sejak aku menangis di pelukannya, dan sejak ia mengatakan ia sedang mencintai seseorang. Air mataku jatuh. Bukan. Bukan karena terlalu bahagia. Tapi karena Iqbal. Aku tak pernah mengira akan mencintai seseorang yang bahkan tak mencintaiku. Dan aku tak pernah mengira mengapa aku mengabaikan seseorang yang bahkan jelas jelas menyayangiku.

Kepalaku menggeleng pelan. Ada raut wajah yang berubah di wajah Faishal. Ada pula cahaya mata yang redup seketika akibat gerak kepalaku yang sudah mengatakan semuanya.

"Aku gak bisa, maaf" ucapku, lantas menarik tanganku dari dalam genggamannya, dan menuruni panggung. Malu. Ini memang pengalaman memalukan. Tidak hanya untukku, tapi juga Faishal. Tapi aku memang tak bisa. Bagaimana bisa aku menerima cinta seseorang yang bahkan tak kucintai? Bagaimana bisa aku mengiyakan untuk menjadi kekasihnya sementara aku sedang menunggu cinta seseorang yang bahkan merupakan sahabatnya sendiri? Aku benci semua ini.

Kakiku berlari menuju taman sekolah. Menghindari beberapa pasang mata yang menatapku, entah dengan tatapan mengejek, atau bahkan ikut merasakan sedih. Aku tak peduli. Semua ini begitu menyesakkan. Heels dengan tinggi 6cm ini menghambat pergerakanku. Hingga aku menyadari suara beberapa langkah kaki yang berada di belakangku.

"Berhenti mengikuti ku, Sar! Aku gakpapa" ucapku berbohong. Jelas saja. Tidak mungkin aku baik baik saja sementara suaraku sedang terisak, mascara yang kukenakan luntur dan tatanan rambutku berantakan. Perempuan itu memelukku dari belakang. Ia mengusap rambutku pelan. Meletakan kepalanya di pundakku lantas

"Katakan padanya jika kau sudah lelah" bisiknya. Kata katanya membuat tangisku semakin nyaring. Aku bahkan membuat bibir bawahku berdarah karena mengigitnya terlalu keras.

"Ryu" suara itu suara berat milik Iqbal. Dan yang pertama kali kupikirkan adalah aku tak ingin mendengarnya.

"Ryu" kali ini lebih pelan, suaranya mengalun bersamaan dengan dekapan Sarah yang menghilang. Lantas aku kembali merasakan aroma tubuh Iqbal. Aroma yang sangat kucintai bahkan akan kucari sampai ke ujung dunia. Namun untuk saat ini, aku lelah, aku lelah terus mencari, dan pastinya aku lelah menunggu.

"Mengapa kau tak menerima Faishal? Ia lelaki baik" ucapnya. Aku membalikkan badan, membiarkan ia melihat bagaimana wujud hati yang tersakiti karena dirinya.

"Aku ingin bertanya padamu juga. Dua bulan yang lalu kau sedang mencintai seorang perempuan, siapa perempuan beruntung tersebut, Bal?" tanyaku dengan nada gemetar akibat menahan tangis. Aku bahkan tak ingin menatap matanya ketika berbicara dengannya.

"Mengapa kau ingin mengetahuinya?" tanyanya dengan langkah kaki yang semakin mendekat. Kurasa tak ada waktu yang tepat untuk memuntahkan semuanya. Semuanya.

"Karena aku mencintaimu, Bal. Mungkin kau tak pernah tau rasanya mengharapkan seseorang agar masuk ke tempat di hatimu yang sudah kau persiapkan khusus. Kau tak pernah tau rasanya berjuang, lantas jatuh, dan kembali berjuang. Dan kau tak pernah tau rasanya harus menolak seseorang demi seseorang yang bahkan tak memperdulikanku. Kau tak pernah tau" ucapku dengan tangis yang begitu menyakitkan. Sarah mengelus pundakku pelan. Aku juga melihat Rexy yang berada di sebelahnya.

"Ryu"

"Sudahlah, aku tau sekarang bahwa akhirnya aku dapat mengatakannya, walau pernyataan itu diungkapkan tak seperti yang kuharapkan" ucapku lantas berlari menuju gerbang. Aku ingin pulang. Aku tak mungkin kembali ke acara Prom Night dengan wajah mengerikan seperti ini. Aku ingin kembali ke rumah. Kembali pada masa lalu, dimana aku sama sekali tak pernah mengenal Iqbal.




Memendam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang