Ini adalah hukuman bagiku karena aku adalah jalang ...
Malam ini, ketika bulan merah pucat tengah bersinar, kulihat perempuan kesayanganku duduk bersanding dengan kesedihan. Wajahnya layu. Lenguh napasnya sepenggal demi sepenggal. Meninggalkan aroma kopi vanila latte yang membaur dengan udara di wajahnya.Beberapa detik lalu, mata itu terlihat hampir meleleh. Kemudian, hatiku terenyuh.
"Ada apa, Phie?" tanyaku dengan menyebut nama kesayangan untuknya. Perempuanku tetap bergeming. Bibirnya masih terbungkam rapat. Ia hanya menatap dalam diam. Berkedip sebentar, lalu melempar kembali pupil matanya ke arah sudut-sudut cafe.
"Phie ...?"
"Phoe," ia berdesis. Tangan kirinya tetap setia menopang dagu. Korneanya masih sasar, melahap tiap jengkal suasana di sekelilingnya.
Seorang pramusaji pria baru saja melewati tempat duduk kami. Kulihat perempuanku berkedip sekali.
"Apa kau percaya dengan karma?" tanyanya kemudian.
"Kok kamu tiba-tiba ngomong seperti itu sih, Phie?"
Ia tak menjawab. Hening.Pramusaji pria itu kembali melintas. Kali ini tangannya membawa nampan bulat berwarna hitam, penuh dengan cangkir kopi yang sudah kosong. Sejenak, mataku beradu dengan mata pemuda itu. Dia melemparkan senyum. Ramah.
Cafe Orenz Blue tempatku melepas rindu bersama perempuan yang sedang duduk di hadapanku itu, selalu ramai pengunjung. Di sini nyaman. Teramat malah. Kami bisa melihat lalu lalang kendaraan yang menerobosi kegelapan dengan jelas. Lampu-lampu mobil dan motor itu bagaikan kunang-kunang raksasa yang melesat. Indah.
Di pojok dekat pohon pinang setinggi bahuku inilah tempat kami memeluk kebersamaan. Selalu di sini. Bersembunyi dari pandangan pengunjung lain yang mungkin mengenali salah satu dari kami. Ini adalah pertemuan terlarang, tak mungkin bagi kami menunjukkan diri terang-terangan.
Dua tahun lalu, aku bertemu kembali dengannya melalui salah satu sosial media. Facebook. Sebuah perjumpaan tanpa unsur kesengajaan. Lagu lama, bukan? Namun memang seperti itulah takdir kami. Setelah lebih dari dua belas tahun berpisah, kisah masa kanak-kanak itu pun tersambung kembali. Hingga saat ini.
Aku, dan juga dirinya, tak pernah menginginkan semua ini terjadi. Bukan kehendak kami. Bukan. Namun lebih karena ketidakberdayaan yang tak mampu melawan hati kecil. Logikaku, logikanya, melebur. Raib diterbangkan oleh benih-benih cinta yang kembali tersemai.
Salahkah?
Iya, karena sebenarnya, aku dan dirinya, sudah berkeluarga. Tetapi kami hanyalah manusia biasa, yang begitu angkuh menghalalkan sebuah kesalahan. Pembenaran kami berkacak pinggang dengan sombong, lalu dengan bangga menerobosi hati nurani masing-masing.
"Aku sudah sangat bersalah sama istrimu, Phoe, dan inilah balasanku."
Kali ini, matanya benar-benar meleleh. Kuraih jemarinya. Meremas dengan lembut.
"Phie, kamu itu ngomong apaan sih? Jangan bikin aku takut, dong."
Ia tersenyum. Di balik luka yang masih belum kuketahui apa itu, ia masih saja tersenyum. Aku mencintainya karena ia perempuan yang lincah, ceria, dan penuh semangat. Namun kali ini, iya ..., baru kali ini kulihat sisi kelemahannya.
"A-aku ...."
"Apa?"
Isaknya makin deras. Berurai-urai membasahi semua rona wajahnya.
"Selamanya, a-aku ... Aku takkan mempunyai anak dari rahimku sendiri, Phoe."Terhenyak. Malam itu, aku merasakan sebuah tombak mencabik-cabik jiwa kelelakianku.
***
"Apa kau baik-baik saja, Phie?"
"Mana mungkin aku bisa baik-baik saja."
"Setidaknya, setelah kau bercerita padaku, apakah kau sudah lebih baikan?"
"Apa itu merubah sesuatu?"
"Tidak."
Kuhentikan ketikan jari di atas tombol Blackberry. Bodohnya aku. Sudah tentu ia takkan bisa baik-baik saja dengan keadaan yang mengerikan bagi semua kaum hawa itu.
"Apa kau mau mendengarkan sesuatu? Sebuah lagu, mungkin."
"Kau belum tidur, Phoe? Bagaimana dengan istrimu?"
"Dia sudah tidur. Tenang saja."
"Ini sudah hampir pagi. Apa kau tak lelah?"
"Aku masih mengkhawatirkanmu, Phie. Mana mungkin hatiku tenang saat kau sedang terluka seperti itu."
"Ini bukan luka, Phoe. Ini hukuman. Ini karmaku."
"Jangan berkata begitu."
"Memang keadaannya seperti ini!"
Ah, perempuanku sungguh sedang terluka. Apa benar ini hukumannya? Jika benar begitu, bagaimana denganku? Apa hukumanku? Bukankah diri ini juga seorang pendosa, sama seperti dirinya?
Kutekan tombol kembali. Kali ini mengirimkan sebuah lagu untuknya. Perjalanan file masih melambat. Lalu setelah semua kotak berisi warna biru itu penuh, aku bernapas lega.
"Kukirimkan lagu untukmu, Phie. Semoga hatimu bisa lebih tenang."
"Tengkyu, Phoe."
Aku tersenyum. Sejenak, rasa ingin mendengarkan lagu itu datang. Jauh di sana, ia pasti juga tengah mendengarkannya. Lalu kuputar lagu itu. Meresapinya. Tak terasa, air mataku jatuh.
When you try your best
but you don't succeed
When you get what you want
but not what you need
When you feel so tired
but you can't sleepStuck in reverse
And the tears come streaming down your faceWhen you lose something
you can't replace
When you lose someone
but it goes to wasteCould it be worse?
Lights will guid you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
....Malam hampir meninggalkan waktunya. Lagu itu semakin lamat terdengar. Sejenak kemudian, lelap datang menjemput. Dalam mimpi, aku bertemu dengan seorang malaikat betina dengan sayap yang patah berkecai. Datang menghampiri, sambil berurai air mata berlian.
....to be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN PERINDU BENIH (tamat)
Romance"Bagaimana jika kita bertemu kembali dalam keadaan belum sama-sama terikat, apa kau akan selalu bersamaku, Ndu?" ~ Alia "Berjanjilah, Alia, kau akan bahagia walau tidak bersamaku." ~ Pandu "Kuberi kau satu kesempatan, dan biarkan takdirmu yang memut...