Selamat tinggal kawah yang kesepian ....
"Iya, Ayah lagi jalan-jalan di Royal Plaza. Mau beliin baju buat anak-anak. Bunda mau nitip apa? Terangbulan keju? Oke, Sayang, love you."
Setelah menutup percakapan dengan Rany, aku pun bergegas menaiki tangga eskalator menuju salah satu stan pakaian anak-anak. Pelan-pelan, mata ini memilah satu-persatu baju yang dijual. Sedikit bergumam, sedikit menggeleng, sedikit lagi bimbang memilih. Seharusnya, ini pekerjaan wanita. Tetapi entah mengapa, hari ini setelah pulang kerja, hatiku seolah membujuk tubuh ini untuk datang kemari.
Waktu terus berjalan lambat seiring kegalauanku memilih warna baju. Lalu tiba-tiba, jala mataku menangkap sosok perempuan berambut ikal dengan tubuh sintal yang selalu kurindukan. Iya ... Ia Alia. Perempuan itu berdiri di ujung kanan, sedang menggendong seorang gadis kecil berusia tiga tahun, Zie. Aku mengenal gadis cilik itu. Zie adalah anak tetangganya yang suka sekali ia ajak ke mana-mana. Alia sangat menyayangi Zie, seperti anaknya sendiri. Beberapa kali ketika kami bertemu, dulu, Alia pernah sekali-dua kali mengajaknya. Aku langsung bergeming. Tubuh ini tiba-tiba kaku.
Mataku menyapu sekeliling Alia, mencoba menemukan sosok suaminya, Sony. Namun tak kujumpai lelaki jangkung itu. Sepertinya, Alia tengah berdua saja dengan Zie. Haruskah aku menghampirinya lalu berkata, "Hai, apa kabar?" Atau cukup diam di sini saja sambil terus memuaskan kerinduanku dengan menatapnya tanpa berkesip sedikit pun? Atau ..., aku segera pergi menghindar agar dia tak melihatku juga?
Akh! Otak rasanya mau meledak. Jika sudah meledak, pasti akan berhamburan ke lantai dan ada tulisan kata 'malu' tercecer di mana-mana.
Di saat kegundahan itulah tiba-tiba Alia membalikkan badannya. Mata kami bertemu. Dan tanpa sadar, aku memalingkan muka, mencuri langkah menghindar. Pergi dari hadapannya.
Benar kata Alia. Aku lelaki pengecut, yang bisanya hanya lari ....
Setelah sampai rumah, debar jantungku masih belum bisa terhentikan. Ada rasa sesal mengusik diam-diam. Sedikit sih. Tapi, ya sudahlah.
"Loh, mana bajunya anak-anak? Katanya tadi beli," Rany menghambur di hadapanku, menyambut dengan wajah yang sedikit heran.
"Nah, terangbulannya juga ..., kok gak ada sih, Yah?"
Aduh. Saking terburunya, aku lupa membelikan makanan kesukaan Rany. Baju-baju itu juga, sudah tak sempat lagi terbeli. Bodoh.
"A-anu, tadi kelupaan kalau kartu debit Ayah tertinggal di dompet satunya," kilahku sambil segera menghindari Rany dan masuk ke dalam kamar tidur. Tak ingin aku mendengar lagi pertanyaan lain dari bibir Rany yang sangat lihai mempertanyakan sisi lemah kebohonganku. Dia seperti detektif! Selalu tahu mana saat aku berkilah atau berkata jujur.
Setelah berganti pakaian, aku menghampiri Rany kembali. Mengecup keningnya dan mencoba basa-basi.
"Masak apa?"
"Sayur asam."
"Wah, enak. Bunda sudah makan malam."
Rany menggeleng.
"Memang mau nungguin Ayah. Pingin makan malam bareng."
"Makan yuk."
Rany mengangguk. Kuikuti langkahnya menuju arah dapur. Obrolan kami terasa hambar. Hatiku tak bisa dibohongi, masih tetap saja memikirkan sosok Alia.Debaran, kerinduan, lalu ... cinta itu hadir kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN PERINDU BENIH (tamat)
Romance"Bagaimana jika kita bertemu kembali dalam keadaan belum sama-sama terikat, apa kau akan selalu bersamaku, Ndu?" ~ Alia "Berjanjilah, Alia, kau akan bahagia walau tidak bersamaku." ~ Pandu "Kuberi kau satu kesempatan, dan biarkan takdirmu yang memut...