RETAK

329 22 6
                                    

"Aku mendengarnya, suara retakan di dalam hatiku ...."

Keluar dari kamar mandi, aku menemukan Rany sudah berdiri mematung di depan lemari es. Wajahnya beku. Benar-benar kaku. Seperti sedang mati. Pucat pasi. Di atas lemari pendingin itu, ponselku menyala.

Tunggu. Apakah Rany membukanya? Ah tak mungkin. Sekarang ponsel itu sudah kuberipasword agar privasi dan rahasia terjaga.

“Bunda kenapa?”

“Hah? Oh, e ... Tidak ada apa-apa.”

“Kok sepertinya ada yang sedang dipikirkan.”

“Ah, tidak kok.”

Setelah berkata demikian, istriku berlalu menghindar. Dia memasuki dapur. Aku merasa sedikit aneh dengan tingkahnya hari ini. Namun, pikiran itu segera kutepis.

Selesai mengganti pakaian kerja, sarapan dan mengenakan sepatu, aku berpamit pada Rany. Kulirik matanya. Masih tersimpan sebuah keanehan di sana. Dia sedang canggung sekali.

“Bunda jangan banyak pikiran, nanti sakit, loh,” kataku merayu, sambil mengecup keningnya. Dia tak menjawab. Hanya menyungging senyum yang dipaksa. “Ayah berangkat kerja dulu, ya,” lanjutku, kemudian berjalan meninggalkan teras rumah, menghampiri mobil, lalu menghilang di bawah sinar mentari.

***

Sabtu pagi ini Alia berkata ingin diantar ke klinik untuk chekup. Aku berpamit pada Rany hari libur terpaksa harus lembur karena pekerjaan yang menumpuk. Malam Jum’at dua minggu lalu, ia mengatakan tentang kondisinya yang tak mungkin bisa melahirkan anak. Saat itu pikiranku kalut. Iba. Kekasihku menganggap ini adalah hukuman atas dosanya pada Rany.

Entahlah.

Pukul sembilan tepat, aku sudah menunggu Alia di bawah pohon akasia, tempat biasa kami bertemu jika hendak keluar bersama. Namun, ketika kutanyakan tempat mana yang akan ia tuju, perempuan itu malah tersenyum.

“Aku bohong.”

“Bohong? Maksudmu ....”

“Iya, Phoe. Aku bohong tentang klinik itu. Aku hanya ingin bertemu denganmu.”

Senyuman Alia terus mengembang dari bibirnya. Mirip seperti bulan yang tengah menyabit. Bulan kesayangannya.

“Ayo kita lari lagi, Phoe. Culik aku!” Matanya membeliak. Berbinar-binar seperti seekor kucing yang meminta makan pada majikannya.

“Kamu gila apa?!”

Aku memekik. Wajah Alia kini ditekuk kecewa.

“Aku harus bilang apa sama Rany. Lagipula, ini tanpa persiapan, bukan?”

“Jadii ...,” Alia sumringah kembali, “jika ada persiapan, kamu mau? Please ... Please ...,” rengeknya.

“Phie, aku kan sudah pernah bilang, kita tak bisa kembali lebih dekat lagi seperti dua tahun lalu. Aku tak mau.”

“Phoee ....”

“Phiee, please, ngertiin posisiku juga dong.”

Bibir Alia mengkerut. Ia membuang mukanya. Perasaanku jadi serba salah. Akhirnya, dengan terpaksa aku pun menganggukkan kepala. Tak mampu lagi menolak permintaannya. Wajah Alia berubah. Ia tertawa kecil. Bersiul pelan. Siulan itu aku tahu benar. Itu soundtrack film kami, One Day.

Kemudian dalam gumamnya ia mendesah, “Aku hanya ingin lupa, pada kenyataan yang harus kuterima, Phoe.”

Aku mafhum. Kenyataan itu memang berat baginya. Kemudian, kudengar suara retakan panjang di dalam hati. Sekat yang kubangun dengan susah payah itu pun perlahan mulai terbuka, lalu bersepai menjadi puing-puing yang dilesapkan oleh kerlingan goda perempuan di hadapanku ini.

PEREMPUAN PERINDU BENIH (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang