Kubenanamkan batang rokok ke pasir pantai. Sedetik kemudian Alia berlari menghampiri dengan tawa lebar kegirangan. Napasnya tersengal. Sambil menelan ludah, ia berseru, "Aku tadi melihat tebing di atas sana. Sepertinya pantai ini akan tampak semakin indah jika kita melihatnya dari sana!""Benarkah?"
Kekasihku mengangguk.
Tanpa babibu lagi, kami berdua berjalan menuju arah tebing yang ditunjuknya. Jalan yang kami lalui lebih terjal. Namun sama sekali tak menyurutkan niatku dan dirinya untuk mendaki tebing yang menjorok ke pantai itu. Dan benar saja, Pantai Papuma yang tengah bermandikan cahaya bulan gendut malam ini, jauh kelihatan lebih indah dari sini.
"Bagaimana?" tanya Alia. Rambutnya berkibar diterpa bayu.
"Cantik!" Kami berdua tertawa. Angin pantai yang menjamah tebing semakin dingin. Kulihat Alia menahan gigil sambil menekuk kedua tangannya di depan dada. Napasnya mulai mendesah tak keruan. Aku melepas jaket yang menempel di tubuh, lalu menyematkannya di bahu perempuan itu.
Sejenak, mata kami beradu. Dalam. Teramat dekat. Kelelakianku mulai bergejolak. Degupnya naik turun. Tanpa sadar, Dewa Renjana hadir di antara kami, berbisik mantra guna-guna.
Cepat-cepat, Alia memalingkan muka. Mengambil langkah menjauh dariku. Sedetik kemudian, aku teringat akan sesuatu yang menyayat batin. Kesadaranku kembali.
Iya, kami memang saling mencintai. Namun jiwa kami tidak serendah itu. Ada sebuah batas yang tak seharusnya kami langkahi di sini. Ada sebuah cinta, yang harus kami jaga kehormatannya. Di sana. Tempat tujuan kami untuk pulang.
"Phoe! Kaulah cinta pertamaku! Sampai kapan pun, kau tetap yang pertama bagiku!" Tiba-tiba Alia berteriak di bibir tebing. "Berjanjilah kau akan selalu mengingatku! Berjanjilah kau akan selalu mencintaiku!"
Aku terhenyak. Jantung ini semakin kencang berdenyut di akarnya. Perempuan itu menoleh menatapku. Bibirnya kembali merekah seperti biasanya. "Apa kau mau berjanji padaku, Phoe?"
Gemetarku sedikit reda. Berganti sebuah rasa tentram tatkala menatap sosok cantik yang menggoda di hadapanku itu.
"Iya, aku janji. Aku akan selalu mencintaimu, bahkan hingga seribu tahun sekali pun. Dan kau, berjanjilah untuk selalu bahagia, walaupun setelah ini mungkin kita takkan kembali menjadi manusia yang gila karena perasaan ini. Apa kau bisa, Phie?"
Rinai Alia meleleh.
"Iya, aku janji ...."
Bulan merah pucat memandang kami dari kejauhan. Aku berdiri memeluk Alia yang yang tengah limbung karena lukanya. Malam pun pingsan di depan kami. Hening. Di bibir tebing, kami putuskan untuk bersanding. Duduk sambil menautkan jari jemari. Menatap gelap, berdecap harap agar semua ini tak cepat berlalu di antara kami.
Selamanya ....
Namun fajar telah tiba. Alia menangis kembali. Kusentuh dagunya, lalu kesalahan itu terjadi juga. Ciuman yang lembut, laksana marshmallow yang lumer di lidah. Setelahnya, ia berkata pelan sambil menundukkan kepala, "Tak ada yang terjadi di antara kita, Phoe. Tak ada yang terjadi. Kita pantas untuk melupakan malam dan fajar hari ini."
***
Aku pulang. Tepat pukul satu pagi buta, di hari berikutnya. Rany menyambut dengan wajah yang tampak lelah. Seraut kekhawatiran itu ada. Sementara aku, setitik rasa bersalah padanya muncul. Hanya setitik.
"Ayah belikan nasi kucing kegemaran Bunda. Mau makan sekarang?" kataku mencoba mengalihkan perasaanku sendiri.
Rany mengangguk. Kemudian kami berdua duduk di bawah lantai rumah. Dia membuka pembungkus nasi dari daun pisang itu. Isinya menyembul. Menggiurkan. Dengan lahap, dia memakannya. Kuelus rambut Rany penuh kasih. Kukecup keningnya. Dia tersenyum.
"Enak," ujarnya dengan mulut yang penuh, mengunyah nasi dan paru goreng.
Sebuah pesan singkat masuk. Kubaca nama pengirimnya, Phie. Aku sedikit menghindar. Berpura-pura berdiri menghadap lemari es di samping Rany.
"Kau sudah pulang?"
"Sudah, baru saja sampai," balasku.
"Baguslah. Aku mengkhawatirkanmu."
"Aku baik-baik saja. Tidurlah."
"Kau juga, istirahatlah. Bermimpilah tentang kita di pantai itu."
"Aku mencintaimu, Phie."
"Aku juga, Phoe. Terima kasih buat kenangan yang kau berikan dua hari ini."
"Good night, Phie."
"Night, Phoe."
"BBM dari siapa? Kok malam-malam sekali?" Aku terkejut. Tiba-tiba saja Rany sudah berada di belakang. Mulutku gagap. Segera ku-endchat percakapan dengan Alia.
"A-anu ... I-itu Aris," jawabku sekenanya. "Bunda sudah kenyang? Tidur, yuk."
Rany memelukku. Rapat. Lalu kami berjalan ke kamar. Menikmati kebersamaan yang telah kulupakan dua hari lalu.
...to be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN PERINDU BENIH (tamat)
Romance"Bagaimana jika kita bertemu kembali dalam keadaan belum sama-sama terikat, apa kau akan selalu bersamaku, Ndu?" ~ Alia "Berjanjilah, Alia, kau akan bahagia walau tidak bersamaku." ~ Pandu "Kuberi kau satu kesempatan, dan biarkan takdirmu yang memut...