"Kuberi kau satu kesempatan, Lia, lalu biarkan takdirmu yang menentukan ...."
Bagaimana seorang wanita bisa hidup di bawah bayang-bayang sosok perempuan lain yang telah merenggut cinta dari suaminya?
Itulah yang dirasakan oleh wanita itu. Baginya, hidup hanyalah tempat untuk mengembus napas, bukan lagi untuk mencinta. Sejak dua tahun lalu, ketika pertama kalinya dia dipaksa harus menerima kenyataan bahwa lelakinya sudah menyulam cinta di hati perempuan lain, wanita itu langsung rengsa. Jiwanya terkoyak. Selama itulah dia berjuang untuk menyelamatkan hati yang lambat laun menghitam itu.
Kebencian, amarah, iri dan kecemburuan. Keempat rasa itu menguasai jejaknya tiap hari. Bahkan di dalam mimpi-mimpinya juga. Tak ada sela yang tidak teracuni. Tak ada rongga hati yang tidak tercemari. Dia bagaikan tenggelam dalam lumpur yang pekat. Menariknya pelan-pelan, semakin lesap, dilahap kemurkaannya.
Tiap hari, dia memakan lukanya sendiri. Tiap menit, dia tumpahkan kesakitannya di antara lenguh yang diembuskan. Dia ingin berdiri kembali. Ingin mencari kebahagiaan yang hakiki. Bersimpuh di kaki Tuhan, meminta hatinya ditenangkan.
Maka, dua tahun yang mencekik itu pun mampu dilalui dengan perjuangannya. Tapi, pengkhianatan itu tak pernah berhenti menjejas jiwanya, hingga bersepai, hancur kembali.
***
Pagi meretas. Wajah Rany memerah. Amarahnya memuncak. Ponsel Pandu menyala terang di hadapannya. Kalimat-kalimat yang lelaki itu taburkan pada kekasihnya, dibaca Rany pelan-pelan. Sekelilingnya kemudian berputar. Kepalanya seketika pening. Kedua mata itu pun mulai mengabur. Dia sudah tak mampu lagi menggenggam kerjernihannya sendiri.
Wanita itu benar-benar murka. Pengkhianatan suaminya ternyata tak pernah berakhir. Tidak seperti apa yang sudah lelaki itu janjikan.
“Ada apa, Bunda?”
Rany sedikit terperanjat. Dia segera memalingkan mukanya, menghindari si pemilik suara. Pandu terheran memandang wajah sang istri. Diliriknya ponsel yang menyala di atas meja itu. Menyala.
Pandu menelan ludah.
“T-tak ... Tak ada apa-apa,” ujar Rany, sambil berlalu menghindari Pandu.
***
“Ini aku, Rany. Aku ingin kita bertemu.”
Suara Rany ketus di ujung telepon itu. Beberapa saat tak ada jawaban. Rany mendengus kesal. Kemudian, lawan bicaranya itu akhirnya bersuara juga.
“Boleh, kapan? Di mana?”
“Di tempat kalian biasa bertemu. Besok, pukul sembilan pagi. Jangan bilang Pandu jika kita ada janji.”
Setelah itu, telepon ditutup.
Tubuh Rany masih bergetar. Napasnya tak terkendali. Itu adalah amarah. Dia berusaha tenang. Sedamai mungkin. Agar suaminya tak mampu mengendus sebuah rencana yang sudah disusunnya masak-masak hari ini.
***
“Dia kembali pada selingkuhannya? Kau yakin itu perempuan yang sama?”
Rany mengangguk.
Seorang lelaki dengan guratan tato di kanan kirinya duduk di teras. Sebuah rokok mengepul di bibirnya. Itu sudah rokok kedua yang dia hisap.
“Sekarang pergi ke mana suamimu?”
“Entahlah. Setelah mandi dia langsung keluar. Pamitnya sih ke rumah temannya, Dito. Tapi ....”
Lelaki itu menghela napas. Mengangguk-angguk. Asap tipis membumbung dari cuping hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN PERINDU BENIH (tamat)
Romance"Bagaimana jika kita bertemu kembali dalam keadaan belum sama-sama terikat, apa kau akan selalu bersamaku, Ndu?" ~ Alia "Berjanjilah, Alia, kau akan bahagia walau tidak bersamaku." ~ Pandu "Kuberi kau satu kesempatan, dan biarkan takdirmu yang memut...