[ 1 ]

1.5K 121 19
                                    

1 | Memang Takdirku Untuk Terluka


S a m b i l memakan sarapanku sendiri, aku menatap kearah sekeliling ruang makan yang sangat besar ini. Meja yang panjang serta kursi yang cukup untuk menampung setengah dari teman sekelasku. Satu kata yang sudah pasti terlihat jelas, sepi.

Sudah terlalu biasa.

Tak terlalu mempedulikannya, kuambil tas sekolahku dan membawanya keluar. Setelah memastikan pintu sudah terkunci, aku berbalik dan terlonjak kaget melihat seseorang yang sudah berada tepat didepanku.

Kupaksakan senyum selebar mungkin. "Hai!" sapaku kelewat ceria.

Lelaki itu balas tersenyum tapi kutahu ia tidak menginginkannya.

Sudah terlalu biasa.

Tanpa berkata apapun, ia berbalik dan berjalan menuju motor miliknya yang terparkir di halaman depan rumah. Aku ikut berjalan di belakangnya tetapi sedetik kemudian, aku mengingat kunci di tanganku.

"Rionald," panggilku. Ia menoleh dan aku mengangkat kunci di tanganku sedikit tinggi. Ia langsung mengerti, namun ia lebih memilih diam dan mengangguk kemudian mengalihkan pandangannya kembali.

Aku tersenyum kecut. Kulangkahkan kaki kearah rumah milik tetanggaku. Dengan ragu ku ketuk pelan beberapa kali.

Tak kunjung mendapat jawaban, aku terdiam. Bibi pergi?

Sebelum berencana berbalik, pintu terbuka dan menampilkan wanita paruh baya yang menatapku senang. "Pagi, Alita," ucapnya lembut.

Aku tersenyum canggung kearahnya kemudian mengulurkan kunci rumah. "Ini, Bi. Aku mau ke sekolah. Nitip kunci buat bu'de nanti, ya,"

Ia terlihat antusias walaupun aku melihat sinar matanya yang menatapku kasihan.

Sudah terlalu biasa.

Tanpa menghiraukannya, aku mengamit tangannya memberikan salam. "Makasih, Bi. Kalo bukan bu'de yang ngambil nanti aku yang dateng kesini. Assalamualaikum,"

"Walaikumsalam,"

Aku berbalik dan bermaksud menyerukan nama Ronald kembali. Tapi melihatnya sedang asik dengan gadget, aku mengurungkan niatku.

Ia sedang mengetik dan terlihat seulas senyum hadir di bibirnya.

Aku menghelah nafasku kasar, satu-satunya yang gue punya aja udah jadi milik orang lain.

Menyadari kehadiranku, senyumnya pudar begitu saja. Ia menaruh ponselnya cepat kedalam kantung celana sekolah dan menyerahkan helm yang sebelumnya bertengger di spion motor.

"Cepet, gue gak mau telat."

[ - ]

"Alita Nestyana Widyoputrina. Kemana aja lo tiga hari gak masuk?"

Aku menyengir tak berdosa. "Telat bangun, cuy."

Tidur aja gak bisa gimana telat bangun. Alesannya basi banget. Batinku meledek.

"Lo tau sendiri absen lo sekarat," ucap Reina gemas. "Satu semester ini lo gak boleh bolos lagi kalo mau naik kelas, ngerti?"

Aku malah tertawa mendengarnya.

Reina mendelik. "Ngapa lo ketawa-ketawa?" tanyanya ketus. "kayak orang kesepian aja."

Aku menghentikkan tawaku perlahan kemudian menaikkan kedua alisku tinggi.

RioLitaWhere stories live. Discover now