[ 3 ]

690 92 6
                                    

3 | Giliranku Untuk Menjadi Si Penyelamat

"Ta, dateng, ya. Nikahan bang Neo, nih. Kata bunda, 'Kasih undangannya ke Alita. Bilang dia wajib dateng', gitu, hehe .."

Aku mengerutkan kening melihat saudara sepupu jauh ku ini tertawa renyah. Ia menyodorkan undangan berwarna emas kepadaku, "Nih undangannya. Janji ya, lo bakal dateng. Kalo engga gue kena tebas sama bunda." Dan ia tertawa lagi.

Aku yang tadinya hanya ingin diam beralih ikut tertawa pelan agar suasana tidak terlalu garing.

Sadis bener.

"Iya, insyaallah gue dateng," ucapku membuat senyum senang terukir di bibirnya. Aku berdeham, "Tapi kalo sempet."

Mendengar lanjutanku, ia memelototkan matanya yang bulat persis seperti kelereng. "Dateng. Pokoknya lo harus dateng!" perintahnya tak mau tahu.

Aku menyeringai melihatnya. Gue kerjain, deh.

Menghelah nafas, aku mengidikkan bahu dengan pose meminta maaf. "Lah, lo 'kan tau gue les dimana-mana. Lagian juga itu minggu depan 'kan? Gue ada latihan soal dari hari senin sampe minggu. Gue gak bisa bolos, soalnya 'kan minggu depan kita udah ulangan akhir semester. Gue udah kebanyakan absen di sekolah. Apalagi kalo nilai gue ancur, beuh. Bisa gak naek kelas gue," alasanku beruntun. Aku meliriknya yang menatapku penuh harap. "Jadi kalo gue gak dateng ...,"

Ia menggeleng cepat. Wajahnya berubah seperti meminta dikasihani, "Bolos sekali lagi aja, kek. Demi sepupu kesayangan lo masa gak mau? Please .. dateng, ya? Nanti gue deh yang beliin lo dress nya asalkan lo mau dateng."

Aku menyeringai. Gitu dong dari tadi!

"Deal." ucapku mantap. Aku tertawa melihat dirinya yang mendelik kepadaku.

"Disogok dulu baru mau. Nyesel gue punya sepupu kayak lo." cibirnya tak terima.

Aku menerima undangan yang ia sodorkan sambil menahan tawa. Membaca bagian depannya, aku mengangguk sambil tersenyum. "Kamis, jam tujuh, gedung Balai Samudra. Gue pasti dateng."

[ - ]

Gue duduk ama siapa, ya?

Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Harusnya pertanyaan itu sudah ku pikirikan sejak kemarin. Harusnya.

Setelah kejadian kemarin malam, aneh rasanya jika harus kembali duduk bersama Reina. Mungkin ia merasa biasa-biasa saja, tetapi aku-lah yang sangat amat keberatan. Masalahnya, jika aku berdekatan dengan perempuan itu, mungkin aku tidak akan segan-segan mencakar wajahnya.

Mengidikkan bahu pasrah, aku berjalan kearah kursi di pojokan. Kursi spesial untuk anak-anak yang terlambat datang. Ya, anggap saja aku terlambat walaupun selalu datang paling pertama.

Banyak teman sekelasku yang menatapku penuh tanda tanya. Mungkin yang ingin mereka tanyakan seputar, 'kenapa gak duduk di depan kayak biasa?' Atau 'ngapain di pojokan kayak orang jomblo?'

Biarkan saja. Lagi pula poin kedua itu memang kenyataan.

Aku tersenyum masam. Ngenes banget.

Aku berdeham keras saat melihat orang yang ku tunggu-tuggu akhirnya datang.

Dia mengerutkan kening melihat kursi sebelahnya yang kosong tanpa sosok diriku. Sedetik kemudian ia langsung menoleh padaku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan.

Aku mengangkat salah satu alisku tinggi. Menurut lo gue masih mau duduk sama lo, gitu?

Mengalihkan pandangan, kuambil ponsel dari dalam ransel bagian depan kemudian berpura-pura memainkannya dengan serius. Seakan memberitahu gadis itu bahwa aku sama sekali tidak peduli padanya.

RioLitaWhere stories live. Discover now