Awal yang buruk

75 8 4
                                    

Ariq Naufal. Tidak ada satu hal pun yang dirasa kurang dari Ariq Naufal bagi gadis yang memiliki rambut sepuluh sentimeter di bawah bahu itu, karena menurutnya, Ariq itu sempurna. Seperti kata orang, cinta itu buta dan tuli. Dan Nabilla telah merasakan hal itu.

Ariq, begitulah ia dipanggil sehari-hari. Cowok dengan rahang tegas dan hidung yang mancung itu mungkin memang bisa dikatakan tampan, tapi ia menjalani kehidupannya dengan sederhana. Berkumpul bersama teman, belajar, beraktivitas seperti siswa layaknya. Namun, ada sesuatu yang dari diri Ariq yang membuat Nabilla terpikat. Yang Nabilla sendiri tak tahu apa.

Senyuman pertama yang Ariq berikan saat mereka tak sengaja berpapasan disalah satu minimarket setahun yang lalu, masih teringat jelas oleh Nabilla. Itulah kali pertama debaran itu muncul, walau hanya dirasakan oleh salah seorang dari mereka, tidak pada keduanya.

Rasa itulah yang kini membuatnya berada di sini, di parkiran SMANSA karena ia baru saja sampai 1 menit yang lalu bersama Milla. Ia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam 05:53. Tiada seorangpun, hanya mereka berdua.

"Yuk Bil, cepetan ke kelasnya The Oppa sebelum ada yang datang terus ngeliat kita." ucap Milla, lalu menarik kasar lengan Nabilla, mengajaknya berlari.

The Oppa. Julukan itu tercipta hampir sekitar satu tahun yang lalu. Nabilla sengaja membuat julukan, supaya ia, Milla, dan Paudina bisa leluasa bercerita tentang Kak Ariq tanpa diketahui orang lain.

Nabilla menyejajari langkah Milla yang cepat sampai mereka tiba di depan pintu kelas Kak Ariq yang tertutup rapat, namun tak terkunci.

Nabilla memberanikan diri memutar kenop dan pintu pun terbuka. Ia melangkah memasuki kelas Ariq, XII IIS 2, sampai akhirnya ia sadar bahwa ia tidak tahu Ariq duduk dimana.

"Bil, cepet taroh suratnya." rengek Milla yang takut berlama-lama di ruangan itu. Maklum, jika ketahuan itu akan menjadi musibah besar.

"Masalahnya gue ga tau tempat duduknya dimana!?" ucap Nabilla frustasi seraya mengacak-acak rambutnya yamg tadi sudah ia tata rapi. Ya, sudah menjadi kebiasaannya mengacak-acak rambut halusnya itu saat ia merasa tak nyaman.

"Taroh sembarangan aja, yang penting lo tulis nama Ariq Naufal di amplopnya gede-gede biar orang tau tujuannya untuk siapa, jadi ga ada yang berani baca."

Segera saja Nabilla mengambil spidol yang terletak begitu saja di meja guru dan menulis ARIQ NAUFAL dengan huruf kapital. Setelah itu ia meletakkan suratnya itu di salah satu meja yang terletak di deretan terdepan.

"Udah? Yuk cabut!" ucap Milla seraya kembali menarik kasar lengan Nabilla dan menariknya menuju pintu.

Buk! "Aduh sakiit!" pekik Milla. Nabilla yang melihat kejadian di depan matanya itu hanya bisa terkejut dan menutup rapat mulutnya.

"Aduuhh, ini dada apa baj-" kata-kata Milla terpotong saat mengetahui apa yang tadi beradu dengan kepalanya. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat seorang cowok telah berdiri di depan mata kepalanya sendiri.

"Kalian ngapain di sini?" Milla mengangkat wajahnya dan mendapati kak Steven-lah cowok yang tadi ia tabrak. Di belakangnya, Nabilla hanya mematung, seakan-akan ia lumpuh seketika.

"A-A-Anu Kak, itu, kemaren kan kita latihan kepramukaan, terus, bedaknya temen gue ini ketinggalan" ucap Milla seraya menunjuk Nabilla yang tengah mendengus kesal mendengar kebohongan sahabatnya yang cukup membuat mukanya bersemu merah, "jadi kita sengaja datang pagi biar ga diliat orang."

"Oh, yaudah" ucap Kak Steven singkat, kemudian berlalu masuk ke dalam kelas.

Nabilla dan Milla segera berlalu dengan kesyokan yang belum sirna secara sempurna.

YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang