Chapter 2 / Alaric Ethan Ivander
Ethan's POV
Aku bergegas masuk kedalam apartemenku. Bayangkan saja, kerjaan kantor yang menumpuk dan memusingkan. Bukannya aku tidak suka perkerjaanku, tapi kalau memang kebanyakan ya pasti akan membuat stress.
Aku ini adalah arsitek. Arsitek yang bisa dibilang sudah punya nama di negeri ini, bahkan di luar negeri. Aku juga mempunyai perusahaan arsitektur bernama A.E Ivander Associates. Ya, perusahaan itu memang aku sendiri yang mendirikan. Dengan bantuan keluarga dan para sahabatku tentunya. Tidak gampang memang, untuk berada diposisi seperti ini. Aku pastinya merasakan kegagalan dulu secara terus menerus.
Saat aku membuka pintu masuk, pandangan pertama yang aku lihat sangat mengejutkan.
Bukan, bukan ada mayat yang tergeletak disana. Bukan juga hantu. Tapi lebih parah dari itu.
"Hai Than," sapanya santai.
Tentunya aku tidak menjawab sapaannya melainkan hanya menatapnya tajam.
Bayangkan saja, ada lelaki bertelanjang dada di apartemenku, anak itu hanya memakai boxernya. Kalau ada orang lain yang melihat kejadian ini, pasti mereka akan berpikir kalau aku ini pasangan gay yang ekstim.
Dengan dia yang hanya memakai boxer, ditambah lagi boxernya yang berwarna kuning dan ada gambar semacam hewan kerdil aneh didepannya.
"Itu bukan hewan kerdil aneh! Ini gambar minion." Sepertinya aku terlalu keras menyebutkan sesuatu yang ada dalam pikiranku. "Lagian mana bisa, seorang Zidan yang gagah perkasa penakluk semua wanita ini suka sama orang kayak kamu. Kebanting banget," lanjutnya.
Zidan, playboy sialan yang berganti perempuan secepat dia berganti baju. Oke, mungkin tidak separah itu. Tapi sama saja, sepertinya dia akan dengan senang hati meniduri semua orang yang mempunyai vagina. Dan dia akan dengan senang hati membuang perempuan itu sekali pakai.
Tapi kabar buruknya adalah, dia ini sahabatku. Kita sudah bersahabat dari SD. Ya, kasihan sekali aku, masa-masa SDku dipenuhi dengan anak ini. Tapi dia satu-satunya orang yang paling mengerti aku.
Lama-lama aku terdengar seperti abg labil kebanyakan nonton sinetron.
"Buat apa kamu disini? Gimana bisa kamu masuk kesini?" Tanyaku bingung. Lagipula, terakhir aku check, apartemenku ini selalu terkunci sebelum aku pergi keluar.
Zidan menaikan kakinya ke meja dan menyenderkan tubuhnya di sofa. Lalu dia menjawab dengan santai, "Nongkrong."
Kalau suatu hari, aku ditemukan mati karna serangan jantung di sekitar tumpukan boxer bergambar makhluk aneh sejenis alien berwarna kuning, kalian tahu siapa pelaku utamanya.
"Zidan.." Aku menatapnya tajam.
"Aku punya duplikat kunci apartemen ini," ujarnya sambil cengengesan.
Tanganku aku julurkan kedepan tanda aku meminta bajingan ini mengembalikan kunci duplikat apartemenku. Lagian, untuk apa?
"Than, kalau ada keadaan darurat gimana? Kalau kamu sakit? Pingsan? Mati?" Setelah sekian lama menawar, akhirnya Zidan memberikan kunci duplikat apartemenku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke kamarku. Mengganti baju dan membersihkan diri. Saat aku baru keluar dari kamar, terlihat Zidan yang memegang gagang telepon di apartemen ini. Dia mengode supaya aku menghampirinya.
"Nenek Sandra," gumamnya kepadaku. Baru saja Zidan menghancurkan moodku, lalu sekarang Nenek menelepon. Dosa apa lagi yang aku lakukan?
"Iya Nek?" Aku melihat Zidan tertawa disampingku. Kita berdua memang tahu, kalau Nenek menelepon, itu artinya cobaan. Omongannya itu seperti kereta listrik keluaran German. Cepat, panjang, dan lebar.
"Ethan. Kamu ditelepon daritadi gak diangkat. Kamu ini, Nenek tuh udah tua. Harus dimanja dan dimengerti," omel Nenek di telepon.
"Ya," jawabku singkat.
Mendengar jawabanku, Nenek makin menggila. "Ethan! Kamu gak pernah berubah ya?" Suaranya terdengar melengking. Terdengar seperti banshee. "Oh ya, kamu kapan bawa cewek kerumah? Tahu gak? Selama 27 tahun umur kamu, kamu gak pernah sekalipun bawa cewek kerumah."
Aku memular kedua mataku malas. Pasti saja seperti ini. "Aku masih fokus sama kerjaan aku, Nek," kataku tenang. Aku memang belum memikirkan hal-hal seperti itu.
Lagipula aku mempunyai masalah tersendiri dalam urusan 'perempuan'. Nenek, seperti tahu apa masalahku, langsung berkata, "Than, kamu gak boleh kayak gini terus. Tahu gak? Gak semua perempuan itu seperti itu." Aku mendengar suara Nenek mendesah lelah.
Aku tidak menjawab ucapannya. Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Nenek kembali memecahkan suasana. "Kamu kalau ke rumah paling cuma bawa Zidan. Apa jangan-jangan kamu..."
"Nenek!" Aku berseru kesal, mataku melebar mendengar ucapan ngasalnya itu.
"Hehe, I love you too." Lalu telepon pun di matikan secara sepihak oleh Nenek.
Kakek dan Nenek memang hanyalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Aku tidak bisa memikirkan hidupku tanpa mereka disampingku.
Aku bukannya tidak ingin mencari pasangan, tapi aku mempunyai suatu trauma. Aku pernah melihat langsung kegagalan dalam suatu hubungan dan aku melihat sendiri apa pengaruhnya terhadap orang tersebut.
Aku bukan sekali dua kali melihat hal itu, tapi sering. Belum lagi acara televisi yang dipenuhi kasus perceraian. Aku tidak ingin bernasib seperti mereka.
Aku pernah membaca sebuah kutipan, 'Love can sometimes be magic. But magic can sometimes just be an illusion.' (Cinta kadang bisa menjadi sihir. Tapi sihir kadang hanyalah sebuah ilusi.)
Bukan, aku bukan abg labil yang sering membaca kutipan-kutipan galau untuk di share ke sosial media.
Aku hanyalah aku, Alaric Ethan Ivander.
*****
Akhirnyaaa :3 maaf kalau ceritanya nggak sesuai ekspetasi kalian yang bagus. Iya, ceritanya garing abis, tapi gak apa-apa deh yang penting hepi haha.
Btw harap vote & comment yaa jangan lupa juga kritik dan saran yang membangun :))
Follow juga instagramkuu: @raissadamiri
Thanks guys :3
KAMU SEDANG MEMBACA
The Borrowed Boyfriend
RomanceMama terus terusan memaksaku untuk mencari jodoh. Emangnya kenapa kalau aku masih memakai status single ku diumur ke 25 tahun? Bukan berarti aku ini perawan tua. Oke, memang secara nggak langsung aku ini adalah perawan tua. Dan bukan salahku juga, w...