For

395 35 3
                                    

"Assalamualaikum." Nala mendengar salam seseorang disertai ketukan di pintu luar. Sejenak dia berpikir, siapa orang yang bertamu subuh-subuh begini?

"Waalaikumsalam." Jawab Nala kemudian. Seketika kedua matanya melebar saat melihat siapa tamu yang datang.

"T-Tante? Om?" Ucapnya tak percaya.

Tante Rizka dan Om Randy. Dia adalah adik kandung dari ibu Nala.

Kedua orang itu tersenyum. Tersenyum senang karena sudah menemukan anak dari kakaknya yang meninggal, serta tersenyum miris karena mengetahui keadaan keponakannya yang menyedihkan ini.

"S-Silakan masuk, Tan, Om."

Tante Rizka dan Om Randy duduk di karpet yang tersedia karena kursi di ruang tamu Nala baru saja dijual.

"Ehm, Nala." Ucap Tante Rizka memecah keheningan. "Gimana kabarmu dan Nino?" Tanyanya memulai percakapan.

"B-Baik, Tan." Jawab Nala gugup sambil memaksakan senyumnya.

Tante Rizka tersenyum getir. Dia bukanlah orang buta yang tidak bisa melihat keadaan sekitar. Semua orang pun tau jika keadaan Nala dan Nino tidak baik-baik saja. Senyuman di wajah Nala itu semata-mata hanya untuk kamuflase dirinya saja.

"Selama ini kami mencarimu kemana-mana, Nal. Sampai tadi malam pengawal milik Ommu ini mengatakan jika keponakan kami tinggal di kampung ini." Tante Rizka menggenggam tangan Nala. "Kami senang sekali mendengar kabar itu, Nal. Sampai akhirnya kami bertamu subuh-subuh begini. Alhamdulillah kamu dan Nino masih diberi kesehatan." Lanjutnya kemudian.

Nala yang masih tak percaya hanya bisa diam memandangi Om Randy dan Tante Rizka di hadapannya ini. Dalam hati Nala berdoa, semoga apa yang dilihatnya sekarang bukan mimpi, tetapi benar-benar kenyataan.

"Langsung saja, Nal. Kamu dan Nino mau kan ikut kami ke Bandung?" Ucap Om Randy tiba-tiba. Om Randy masih sama. Sikap to the point nya itu tidak berubah samasekali.

"Om dan Tante tidak menerima penolakan, Nala. Pokoknya kamu harus ikut." Lanjut Om Randy kemudian.

Tanpa terasa setetes air mata jatuh membasai pipi Nala. Nala belum sepenuhnya percaya. Rasanya ini seperti mimpi. Dia takut jika bangun nanti, semuanya akan hilang seketika.

"I-Ini beneran O-Om? Tante? Ini bukan mimpi, kan?" Ucap Nala di sela-sela tangisnya.

Tante Nala menggelengkan kepala. "Ini nyata, sayang. Ayo, sekarang kubantu mengemasi barang-barangmu dan Nino. Nanti sore kita berangkat."

Nala menganggukkan kepala. Ya. Ini nyata. Ini bukan mimpi. Akhirnya setelah sekian lama, Nala bisa berkumpul dengan keluarga besarnyanya lagi.

-------

"Yang, aku butuh sepatu baru nih. Sepatuku yang lama udah lecet-lecet, warnanya juga udah luntur. Temenin aku ya, yang?" Rengek Mirza kepada Vanno yang sedang berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas yang diberikan gurunya tadi.

Hei, jangan salah. Walaupun sikap Vanno yang bad boy itu, dia termasuk jajaran murid pintar di sekolahnya. Sebenarnya Vanno rajin. Sebenarnya. Namun rajin itu baru mau keluar jika sudah saatnya. Seperti sekarang.

"Sayangg. Temenin aku yaa. Sekali ini aja." Mirza merangkul lengan Vanno dengan manja.

Vanno menghela nafas. Dia sudah lelah dengan sikap materialistis Mirza. Dia ini pacarnya, bukan orang tuanya. Seenak jidatnya saja meminta apa-apa layaknya anak pada orang tua.

"Yang, plisss." Mirza memohon di hadapan Vanno. Sedangkan cowok itu hanya melirik Mirza tanpa minat.

"Vanno! Kamu kenapa jadi gini sih? Kamu berubah!" Bentak Mirza di hadapan Vanno saat dia merasa dirinya tak digubris samasekali.

Sing For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang