Bab 1 : Mereka Tidak Menggapnya

109 4 0
                                    

Dentingan piring dan sendok yang kugunakan memenuhi seluruh ruangan. Ibuku beberapa kali menatapku dari balik penggorengan sambil menceramahiku agar tidak berisik saat makan. Tapi aku tak menghiraukannya dan tetap asyik melahap nasi goreng. Pikiranku melayang saat aku tidur tadi malam. Setahun belakangan, pertama kali ini aku bermimpi lagi. Dan mimpiku hanya berisi tanah lapang berwarna abu-abu dan aku tercenung duduk sendirian di sana. Mimpi macam apaan itu.

Setelah menyendokkan nasi goreng terakhir ke mulutku, aku bergegas menuju tempat cuci piring di pojokan dapur. Lalu memasukkannya ke dalam ember yang berisi air.

"Titip ya, Buk," kataku sembari beralih ke meja makan dan menuangkan air ke gelas.

"Mbok dicuci sekalian. Cuma satu juga." Ibuku memelototiku dengan bola mata hitamnya saat aku menandaskan air putih. Aku mengusap cepat kepres di mulutku. Berjalan ke belakang punggung ibuku yang tingginya sama denganku. Hanya saja ia lebih kurus daripada aku.

"Lhah, ini lho udah jam setengah tujuh. Nanti aku telat."

Ibuku berbalik. Tahu aku hendak menyalaminya, ia menaruh solet di atas wajan. Aku mencium tangannya yang berlumur minyak goreng dan tepung.

"Karepmu lah, Nduk. Kesel leh ku ngandani."

Aku hanya nyengir tanpa rasa bersalah. Tahu aku masih di sana dengan tanganku yang mengatung, ia berdecak kesal, sembari mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.

"Kalu duit wae yang gak lupa."

"Hehe."

Ia meluncurkan ocehannya lagi. "Itu rambut mbok dikucir rapi."

"Yo ben. Wis disisir kok."

Apa sih yang salah? Setiap hari rambutku cuma tak kucir ke belakang biasa. Jangan menyalahkan rambut brintik keturunanmu, Buk. Udah dari sananya keriting.

Begitu aku mengantongkan uang kertas itu, aku segera ngeloyor keluar.

Tahu apa yang akan dikatakan ibuku, aku setengah berteriak bersamaan dengan ocehannya.

"Assalamu'alaikum."

"Ojo lali pamit sama Bapak." Begitu ocehan ibuku yang sudah seperti audio khusus yang selalu diputar di pagi hari.

Tahu menjawab salam adalah wajib, ibuku segera menjawabnya. Tapi ocehannya belum berhenti.

"Dasar bocah bregudul."

Yah, ocehan itu lebih menyenangkan di telinga daripada saat enam bulan yang lalu dengan ocehan yang sama, ia menamparku karena aku menjawab, "wegah. Kui udu bapakku." Salah satu tamparan dari sekian banyak tamparan untuk kekurang ajaran diriku hanya karena satu orang saja.

Aku melenggang keluar. Yang katanya ibuku adalah bapakku, melihatku dari balik kandang ayam yang sedang dibuatnya.

"Ati-ati, Nduk," katanya.

"Hm," jawabku kelewat singkat.

Setengah berlari, aku menuju pangkalan ojek di depan jalan raya. Bukan untuk naik ojek ya, tapi untuk menunggu angkutan kota yang kebanyakan telah ringsek bodi-nya. Menempuh jarak sekitar 200 meter, aku berlari melewati gang-gang sempit dengan kewalahan mengenakan rok panjang. Aku sampai menubruk pelan beberapa orang yang kulewati. Mereka tentu saja marah-marah tidak jelas padaku. Tapi aku segera berlalu dengan cepat. Pasti Dimas sudah menungguku di sana.

Sampai di sana, tak kutemukan Dimas. Yang ada hanya seorang tukang ojek yang berumur 20-an nangkring di atas motor supranya.

Aku segera menuju padanya dan bertanya, "Mas, lihat Dimas gak?"

Aku Tidak Gila!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang